Sabtu, 20 Maret 2010

PROFESI WARTAWAN TAK KENAL ISTILAH PENSIUN



BERDASARKAN Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa wartawan adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Wartawan juga disebut juru warta atau jurnalis. Ada pula yang lebih spesifik, disebut wartawan foto untuk khusus yang mencari berita dalam bentuk/medium foto. Wartawan cetak yakni wartawan pencari berita untuk media cetak. Wartawan lepas, yang tidak menjadi staf tetap salah satu surat kabar, tetapi hanya menyumbangkan tulisan mewakili beberapa penerbitan pers.

Jadi intinya, wartawan terkait dengan berita. Lantas apa sih berita itu? Secara singkat kita bisa definisikan berita merupakan laporan atas sebuah

fakta (peristiwa nyata). Jadi wartawan adalah pelapor fakta melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, baik media konvensional maupun media online.Nama lain wartawan adalah koresponden, reporter, juru warta, kuli tinta atau kuli disket.

Lantas muncul pertanyaan, berapa batas usia yang layak bagi profesi wartawan? Apakah cukup dengan 50, 55, 60 bahkan hingga 70 tahun? Berapa usia wartawan senior B.M.Diah tatkala melepaskan seluruh tugas kewartawanannya yang diserahkan kepada generasi yang lebih muda di surat kabar Harian Merdeka ?

Adalah wajar bila H.Eddy Padmadisastra, wartawan senior di Priangan Timur, mengaku kaget ketika ia menerima surat pemberhentian (pensiun sebagai wartawan) dengan hak pesangon dari Pemimpin Redaksi H.U. Suara Pembaruan, suratkabar tempat ia bekerja selama 22 tahun. Padahal. ia ingat betul akan ucapan para seniornya, bahwa “Tidak pernah ada kata pension untuk seorang wartawan. Tak ada batasan masa kerja dan usia bagi profesi wartawan, ”kata Djafar H.Assegaff.

“Betapa tersentak dan bingung, ketika saya menerima surat pemberhentian secara terhormat dengan hak pesangon dari pemimpin redaksi suratkabar tempat saya bekerja selama 22 tahun. Sebab, saya tidak menduga kalau umur 60 tahun sudah dianggap tidak mampu menjadi wartawan. Padahal, saya merasa jadi wartawan itu baru kemarin,”ungkap H.Eddy Padmadisastra, mantan Ketua PWI Persiapan Priangan Timur selama dua periode ini.

Pak Haji panggilan akrabnya mengaku, yang dibingungkan bukan hilangnya sumber pendapatan utama (Suara Pembaruan memberikan honor bulanan, ongkos kirim berita dan tunjangan kesehatan yang cukup besar, disamping honor pemuatan berita) karena dia juga punya usaha perdagangan buku, pertanian dan perbengkelan. Lantas, kenapa ia bingung saat menerima surat

pemberhentian secara terhormat tersebut? Karena ia sangat mencintai pekerjaannya sebagai ‘kuli tinta’ wartawan. Bahkan sudah mendarah daging dalam hidup dan kehidupannya.

Pada mulanya, H.Eddy Padmadisastra mengaku tidak bisa menerima kenyataan harus memutuskan hubungan kerja dengan suratkabar harian yang selama 22 tahun dibantunya. Namun, setelah memperoleh penjelasan dari pemimpin redaksinya, bahwa yang berubah hanya statusnya saja, tetapi ia masih bisa terus ‘berkarya’ menulis berita sebagai pembantu. Akhirnya, ia baru merasa tenang dan lega!

Karena itu, H.Eddy Padmadisastra di usianya yang sudah senja, ternyata masih aktif mencari bahan berita untuk dipublikasikan di suratkabar Harian Umum Suara Pembaruan yang telah membesarkan dirinya.

Bagi wartawan professional yang sudah lama malang-melintang di dunia kewartawanan, menurut ayah tiga anak ini, tidak ada istilah pensiun. Selama masih menulis, mengapa harus ‘diam’ berhenti menulis berita. Dia memberi contoh faktual, yakni bagaimana para wartawan senior seperti H.Rosihan Anwar, H.Mahbub Djunaidi, Mochtar Lubis atau H. Bachtiar Djamily hingga akhir hayatnya, yang begitu mencintai profesinya masih tetap menulis meskipun koran-koran mereka sudah tidak terbit lagi.

LUWES DAN GAUL

Surat keterangan dari Redaksi Suara Pembaruan ketika melakukan perjalanan jurnalistik ke Malaysia dan Singapura 4-7 Oktober 1994,

serta menghadiri Konferensi Asia Pacifik IV Internasional Farm

Youth Ecchange Assosiation di Yamagatha Ken Tokio Jepang pada tanggal 16-21 Oktober 1994.


Pria berperawakan jangkung dengan rambut dan kumis memutih itu mengaku banyak belajar tentang manusia dari profesinya sebagai ‘jurnalis’ wartawan. Untuk menimba informasi yang bermanfaat bagi kepentingan umum, lanjut Pak Haji, maka seorang wartawan harus luwes dan luas bergaul dengan siapa saja mulai dari rakyat jelata hingga pejabat. Selain itu, jangan suka menyakiti hati orang dengan sengaja, apalagi mencari-cari kejelekan pribadinya. Kemudian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi sang wartawan itu sendiri, terutama materi.

Dengan prinsip kerja seperti itu, yang merupakan pencerminan keimanan dan sikap taqwanya kepada Allah SWT sebagai muslim, H.Eddy Padmadisastra merasa tidak mendapat kendala apapun dalam menulis ‘berita’ apa yang seharusnya ditulis. Bahkan, dalam upaya mempertebal keimanannya ia pun seringkali riadhoh atau pengajian ke Pondok Pesantren Suryalaya pimpinan Abah Anom di Pagerageung.

Karena berita-beritanya dinilai selalu objektif, maka tak mengherankan bila H.Eddy Padmadisastra banyak mendapat undangan dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta.

Bahkan, ia pun pernah beberapa kali mendapat undangan untuk melakukan perjalanan jurnalistik ke luar negeri. Pada tahun 1990 lalu misalnya, Pak Haji yang ternyata adalah anggota Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia ini, sempat melawat ke beberapa Negara Eropa Barat (Belanda) bersama rombongan Bupati Tasikmalaya, yang saat itu dijabat oleh H.Adang Roosman,SH.

Selama perjalanan jurnalistiknya bersama rombongan Bupati H.Adang Roosman SH tersebut, tentu saja banyak pengalaman yang berharga, dan bahkan banyak bahan berita yang ditulis untuk suratkabarnya. Dalam hal ini ia menulis berita, bagaimana pengaturan para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di pusat keramaian kota di Belanda yang tertib dan tertata dengan baik, sehingga bisa dicontoh di Tasikmalaya.

Demikian pula, bulan Oktober 1994 lalu, ia pun melakukan perjalanan jurnalistik ke beberapa negara Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Jepang atas undangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Kanwil Departemen Pertanian Jawa Barat.

Ketika ditanya mengenai kepribadian wartawan masa kini, H.Eddy Padmadisastra mengaku prihatin, terutama mendengar ada oknum wartawan yang terlibat tindak kriminalitas; pemerasan, premanisme, pencaloan CPNS dan lainnya.

“Jujur saja, saya sangat prihatin dengan perilaku ‘oknum’ wartawan yang bertindak di luar profesinya sebagai insan pers, tidak menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Bahkan, para wartawan sekarang kurang memperhatikan tatakrama atau sopan santun (etika sesuai KEJ) dalam pergaulan dengan para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya.”kata H.Eddy.

Walau diakuinya, para wartawan sekarang cukup pandai dalam mencari bahan berita dan menulis berita. Ada yang mengira, bahwa jadi wartawan itu sudah berarti segala-segalanya. Padahal, penghargaan masyarakat terhadap suatu profesi sangat tergantung pada amal perbuatan pribadi yang menyandangnya.

PRINSIP HIDUP

H.Eddy Padma menceritakan awal kariernya sebagai wartawan. Sebagai senior, ia mengawali kariernya di dunia jurnalistik sejak 4 Juli 1972 di Sinar Harapan (kemudian berganti nama menjadi Suara Pembaruan). Sebenarnya, secara kebetulan ia berkenalan dengan dunia kewartawanan, ketika ia masih menjadi PNS di Jawatan Sosial (Depsos). Ia mengaku sama sekali tidak pernah bercita-cita untuk menjadi wartawan. Namun, begitu ia ‘masuk’ dan diangkat sejak 4 Juli 1972 sebagai wartawan tetap Sinar Harapan dan berganti menjadi Suara Pembaruan, ia tidak pernah beranjak dari sana.

H.Eddy Padma, menurut beberapa rekan wartawan Tasikmalaya lainnya, merupakan figur yang sangat dihargai oleh pemerintah daerah di wilayah Priangan Timur terutama Tasikmalaya, karena jasa-jasanya dalam membantu pengumpulan dana bagi pengungsi korban meletus Gunung Galunggung 5 April 1982 dan bencana longsor di Bojonggambir.

Bahkan yang paling berkesan bagi H.Eddy Padma, yakni ketika menulis berita mengenai penderita tumor ganas bernama Masitoh (18) warga

Desa Neglasari Kec.Salawu Kab.Tasikmalaya. Gadis desa ini menderita penyakit tumor ganas pada bagian payudaranya membesar sampai melebihi badannya. Setelah pemberitaan itu, maka mengalirlah sumbangan dari para donatur melalui Koran Sinar Harapan, mulai dari masyarakat biasa sampai pejabat pusat dan bahkan Bu Tien Soeharto, sehingga Masitoh pun bisa dioperasi di RS Husada Jakarta dan penyakitnya sembuh.

Dengan kesembuhannya tersebut, maka Kepala Desa Neglasari maupun Bupati Tasikmalaya H.Hoedly Bambang Aruman menyatakan terima kasih kepada H.Eddy Padma, terutama kepada Sinar Harapan yang telah memberitakan penderita tumor payudara dan sekaligus banyak yang menggugah para dermawan membantu dalam pengobatan gadis malang itu.

Pria ramah ini lahir di Kawali Kab.Ciamis dan menikahi E.Komariah,Dra,Hj guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Tasikmalaya pada tahun 1959, kemudian dikaruniai 3 anak yakni Rita Sabarniati,SH,M.Si dan Sri Widyawati,SH,S.IP serta Bambang Kusnohadi, S.IP.

E. Komariah sangat mendukung terhadap H. Eddy Padma dalam menjalani profesinya sebagai jurnalis. Karena itu, sang istri tercinta selalu mendampingi dalam keadaan suka maupun duka, juga memahami profesi wartawan yang berbeda dengan profesi lain; yakni kerja yang tak mengenal batas waktu.

Selama ini, pria energik ini selalu konsisten pada prinsip hidupnya; bekerja selalu tekun, serius dan jujur sebagai tugas hidup karena Allah. Dia mengaku, bahwa profesi wartawan sebagai social control merupakan suatu tugas yang mulia.(BUDIN/REDI.)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar