PENGGEMAR burung perkutut di Tasikmalaya ternyata jumlahnya cukup banyak dan sudah berlangsung lama. Konon, indukan perkutut dari Tasikmalaya dinilai paling bagus dan banyak diburu penggemarnya di seluruh pelosok tanah air. Tak mengherankan, kalau peternak burung perkutut di kota ini bertebaran di berbagai sudut., terutama di wilayah Paseh.
Uniknya, pemilik atau penggemar burung perkutut ini kebanyakan warga keturunan (orang Tionghoa) bernama Acuy pemilik sebuah toko di Jl.HZ.Mustofa, meski dulu belum ada perkutut Bangkok yang harganya selangit. Jadi, perkutut lokal yang umumnya mereka peliharan atau diternak, juga dikonteskan.
Dengan banyak penggemar sekaligus peternak burung perkutut ini, tentu saja menarik perhatian koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padma untuk menulis feature, dengan gaya bahasa santai dan lengkap. Sejak dimuat di korannya, maka burung perkutut asal Tasikmalaya menjadi terkenal di kalangan penggemar burung, karena penesaran ingin memilikinya.
Pada suatu saat, Eddy Padma menerima informasi bahwa Acuy seorang Tionghoa penggemar sekaligus pemelihara burung perkutut yang terkenal, karena selain memiliki perkutut dalam jumlah banyak juga harganya mahal, yakni akan melepaskan burung-burung perkutut tersebut ke alam bebas.
Eddy Padma tak membuang waktu untuk datang ke lokasi yang telah disebutkan si pemberi informasi. Ia membawa tustel (kamera) dan alat tulis. Benar saja informasi itu. Karena si penggemar sekaligus pemelihara burung perkutut yang namanya cukup terkenal itu ‘nekad’ melepaskan seratus ekor lebih burung kesayangnnya itu.
Padahal, harga burung perkutut peliharaan dan hasil ternaknya itu tidak ada yang murah. Ketika ditanya alasannya, Acuy menjawab bahwa ia ingin turut melestarikan burung perkutut yang menjadi ciri khas dan kebanggaan bangsa Indonesia. Dengan begitu, burung perkutut akan tetap lestari di habitat aslinya, terbang di alam bebas.
Lantas, Eddy Padma pun menulis berita mengenai pelepasan ratusan ekor burung perkutut ke alam bebas tersebut, dan keeseokan harinya dimuat di Sinar Harapan. Ia tak lebih hanya menulis berita tersebut yang dikemas dalam gaya bahasa yang menarik.
Namun seminggu kemudian, ia memperoleh kabar dari si penggemar perkutut tadi yang nekat melepaskan burung-burung kesayangannya itu ke alam bebas, bahwa berita yang dimuat Sinar Harapan mendapat respon dari seorang pecinta lingkungan hidup dari Batam. Selain itu, si pencinta lingkungan hidup tersebut bahkan memberikan 70 dolar AS (ketika itu nilainya cukup besar). Betapa bahagianya dia meski tujuan utamanya—sudah jelas—bahwa ia ingin melestarikan kehidupan burung perkutut di alam bebas, terutama di kawasan Tasikmalaya.
Kemudian ia berbagi kebahagiaan dengan Eddy Padma yang telah menulis beritanya. “Sampai sekarang, orang Tionghoa itu ngaku dulur. Ini merupakan kebahagiaan dan kepuasan tersendiri bagi saya,”ungkap Eddy Padma.@@
Uniknya, pemilik atau penggemar burung perkutut ini kebanyakan warga keturunan (orang Tionghoa) bernama Acuy pemilik sebuah toko di Jl.HZ.Mustofa, meski dulu belum ada perkutut Bangkok yang harganya selangit. Jadi, perkutut lokal yang umumnya mereka peliharan atau diternak, juga dikonteskan.
Dengan banyak penggemar sekaligus peternak burung perkutut ini, tentu saja menarik perhatian koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padma untuk menulis feature, dengan gaya bahasa santai dan lengkap. Sejak dimuat di korannya, maka burung perkutut asal Tasikmalaya menjadi terkenal di kalangan penggemar burung, karena penesaran ingin memilikinya.
Pada suatu saat, Eddy Padma menerima informasi bahwa Acuy seorang Tionghoa penggemar sekaligus pemelihara burung perkutut yang terkenal, karena selain memiliki perkutut dalam jumlah banyak juga harganya mahal, yakni akan melepaskan burung-burung perkutut tersebut ke alam bebas.
Eddy Padma tak membuang waktu untuk datang ke lokasi yang telah disebutkan si pemberi informasi. Ia membawa tustel (kamera) dan alat tulis. Benar saja informasi itu. Karena si penggemar sekaligus pemelihara burung perkutut yang namanya cukup terkenal itu ‘nekad’ melepaskan seratus ekor lebih burung kesayangnnya itu.
Padahal, harga burung perkutut peliharaan dan hasil ternaknya itu tidak ada yang murah. Ketika ditanya alasannya, Acuy menjawab bahwa ia ingin turut melestarikan burung perkutut yang menjadi ciri khas dan kebanggaan bangsa Indonesia. Dengan begitu, burung perkutut akan tetap lestari di habitat aslinya, terbang di alam bebas.
Lantas, Eddy Padma pun menulis berita mengenai pelepasan ratusan ekor burung perkutut ke alam bebas tersebut, dan keeseokan harinya dimuat di Sinar Harapan. Ia tak lebih hanya menulis berita tersebut yang dikemas dalam gaya bahasa yang menarik.
Namun seminggu kemudian, ia memperoleh kabar dari si penggemar perkutut tadi yang nekat melepaskan burung-burung kesayangannya itu ke alam bebas, bahwa berita yang dimuat Sinar Harapan mendapat respon dari seorang pecinta lingkungan hidup dari Batam. Selain itu, si pencinta lingkungan hidup tersebut bahkan memberikan 70 dolar AS (ketika itu nilainya cukup besar). Betapa bahagianya dia meski tujuan utamanya—sudah jelas—bahwa ia ingin melestarikan kehidupan burung perkutut di alam bebas, terutama di kawasan Tasikmalaya.
Kemudian ia berbagi kebahagiaan dengan Eddy Padma yang telah menulis beritanya. “Sampai sekarang, orang Tionghoa itu ngaku dulur. Ini merupakan kebahagiaan dan kepuasan tersendiri bagi saya,”ungkap Eddy Padma.@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar