Minggu, 21 Maret 2010

Cover Depan Buku"SANG JURNALIS SEJATI"

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

PUJI syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Shalawat serta rahmat dan keselamatan dikhususkan kepada junjunan alam habibana wa nabiyana Muhammad SAW, juga kepada keluarganya, dan sahabatnya.

Karena berkat karunia-Nya, alhamdulillah penulis dapat menyusun buku “PERJALANAN HIDUP SANG JURNALIS H.Eddy Padmadisastra yang sarat pengalaman selama menekuni profesi ‘mulia’ sebagai wartawan.

H.Eddy Padmadisastra adalah seorang wartawan senior. Ia lebih suka menyebutnya sebagai koresponden. Karena ia sudah banyak makan asam garam di dunia jurnalistik. Tak mengherankan bila wartawan surat kabar Harian Suara Pembaruan ini cukup terkenal, terutama di Priangan Timur yang menjadi wilayah tugasnya, meski ia tinggal di Tasikmalaya.

Sebagai senior, H.Eddy Padmadisastra mengawali kariernya di dunia jurnalistik sejak 4 Juli 1972 (bertepatan dengan hari jadi pernikahannya) di Sinar Harapan (kemudian berganti nama menjadi Suara Pembaruan) hingga menjadi Ketua PWI Persiapan Priangan Timur selama dua periode. Dalam buku ini, Pak Haji panggilan akrabnya, secara gamblang memaparkan ‘pengalaman’ perjalanan hidupnya sebagai wartawan mulai dari A sampai Z, bahkan hingga ia melanglang buana; dari satu negera ke negara lainnya.

Profesi wartawan rupanya sudah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan suami tercinta Hj.E.Komariah,Dra.pensiunan guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Tasikmalaya.Betapa tidak! Meski kini usianya menginjak 70 tahun, H.Eddy Padmadisastra masih tetap aktif mencari bahan berita dan menulis berita untuk dipublikasikan di medianya. Tak kenal lelah menjalani hidup sebagai wartawan. Inilah yang patut diteladani oleh rekan-rekan wartawan yunior.

Penyusun:

REDI MULYADI

DAFTAR ISI



1.KATA PENGANTAR………………………… i
2.DAFTAR..................................................... ii
3.ISI................................................................ iii
3.Profesi Wartawan Tak Kenal Istilah pensiun .... 3
4.Lupa Keluarga Saat Peristiwa Dahana ............... 8
5.Saya Disangka Bupati Tasik ............................... 12
6.Suka Duka Sebagai Istri Wartawan .................. 16
7.Perjalanan Jurnalistik ke Belanda Bersama Bupati Tasik.......20
8.Terharu bisa Membantu Penyembuhan Penderita Kanker Payudara .......... 25
9.Rekaman Peristiwa Gunung Galunggung Meletus ................. 27
10.Berita Pelepasan Burung Perkutut.......................................... 48
11.Berita Bencana Alam Jadi Pusat Perhatian ............................ 51
12.Pernikahan Emas .......................................................................56
13.Kalau Menulis Berita Jangan dari Satu Sumber.................... 60
14.Lima Kiat Menjalin Hubungan Wartawan & Humas............. 65
15.Kegiatan Keagamaan................................................................. 71
16.Dua Tokoh Pemimpin Redaksi................................................. 74
17.Riwayat Hidup Penulis ............................................................84

*****

Sabtu, 20 Maret 2010

PROFESI WARTAWAN TAK KENAL ISTILAH PENSIUN



BERDASARKAN Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa wartawan adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Wartawan juga disebut juru warta atau jurnalis. Ada pula yang lebih spesifik, disebut wartawan foto untuk khusus yang mencari berita dalam bentuk/medium foto. Wartawan cetak yakni wartawan pencari berita untuk media cetak. Wartawan lepas, yang tidak menjadi staf tetap salah satu surat kabar, tetapi hanya menyumbangkan tulisan mewakili beberapa penerbitan pers.

Jadi intinya, wartawan terkait dengan berita. Lantas apa sih berita itu? Secara singkat kita bisa definisikan berita merupakan laporan atas sebuah

fakta (peristiwa nyata). Jadi wartawan adalah pelapor fakta melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, baik media konvensional maupun media online.Nama lain wartawan adalah koresponden, reporter, juru warta, kuli tinta atau kuli disket.

Lantas muncul pertanyaan, berapa batas usia yang layak bagi profesi wartawan? Apakah cukup dengan 50, 55, 60 bahkan hingga 70 tahun? Berapa usia wartawan senior B.M.Diah tatkala melepaskan seluruh tugas kewartawanannya yang diserahkan kepada generasi yang lebih muda di surat kabar Harian Merdeka ?

Adalah wajar bila H.Eddy Padmadisastra, wartawan senior di Priangan Timur, mengaku kaget ketika ia menerima surat pemberhentian (pensiun sebagai wartawan) dengan hak pesangon dari Pemimpin Redaksi H.U. Suara Pembaruan, suratkabar tempat ia bekerja selama 22 tahun. Padahal. ia ingat betul akan ucapan para seniornya, bahwa “Tidak pernah ada kata pension untuk seorang wartawan. Tak ada batasan masa kerja dan usia bagi profesi wartawan, ”kata Djafar H.Assegaff.

“Betapa tersentak dan bingung, ketika saya menerima surat pemberhentian secara terhormat dengan hak pesangon dari pemimpin redaksi suratkabar tempat saya bekerja selama 22 tahun. Sebab, saya tidak menduga kalau umur 60 tahun sudah dianggap tidak mampu menjadi wartawan. Padahal, saya merasa jadi wartawan itu baru kemarin,”ungkap H.Eddy Padmadisastra, mantan Ketua PWI Persiapan Priangan Timur selama dua periode ini.

Pak Haji panggilan akrabnya mengaku, yang dibingungkan bukan hilangnya sumber pendapatan utama (Suara Pembaruan memberikan honor bulanan, ongkos kirim berita dan tunjangan kesehatan yang cukup besar, disamping honor pemuatan berita) karena dia juga punya usaha perdagangan buku, pertanian dan perbengkelan. Lantas, kenapa ia bingung saat menerima surat

pemberhentian secara terhormat tersebut? Karena ia sangat mencintai pekerjaannya sebagai ‘kuli tinta’ wartawan. Bahkan sudah mendarah daging dalam hidup dan kehidupannya.

Pada mulanya, H.Eddy Padmadisastra mengaku tidak bisa menerima kenyataan harus memutuskan hubungan kerja dengan suratkabar harian yang selama 22 tahun dibantunya. Namun, setelah memperoleh penjelasan dari pemimpin redaksinya, bahwa yang berubah hanya statusnya saja, tetapi ia masih bisa terus ‘berkarya’ menulis berita sebagai pembantu. Akhirnya, ia baru merasa tenang dan lega!

Karena itu, H.Eddy Padmadisastra di usianya yang sudah senja, ternyata masih aktif mencari bahan berita untuk dipublikasikan di suratkabar Harian Umum Suara Pembaruan yang telah membesarkan dirinya.

Bagi wartawan professional yang sudah lama malang-melintang di dunia kewartawanan, menurut ayah tiga anak ini, tidak ada istilah pensiun. Selama masih menulis, mengapa harus ‘diam’ berhenti menulis berita. Dia memberi contoh faktual, yakni bagaimana para wartawan senior seperti H.Rosihan Anwar, H.Mahbub Djunaidi, Mochtar Lubis atau H. Bachtiar Djamily hingga akhir hayatnya, yang begitu mencintai profesinya masih tetap menulis meskipun koran-koran mereka sudah tidak terbit lagi.

LUWES DAN GAUL

Surat keterangan dari Redaksi Suara Pembaruan ketika melakukan perjalanan jurnalistik ke Malaysia dan Singapura 4-7 Oktober 1994,

serta menghadiri Konferensi Asia Pacifik IV Internasional Farm

Youth Ecchange Assosiation di Yamagatha Ken Tokio Jepang pada tanggal 16-21 Oktober 1994.


Pria berperawakan jangkung dengan rambut dan kumis memutih itu mengaku banyak belajar tentang manusia dari profesinya sebagai ‘jurnalis’ wartawan. Untuk menimba informasi yang bermanfaat bagi kepentingan umum, lanjut Pak Haji, maka seorang wartawan harus luwes dan luas bergaul dengan siapa saja mulai dari rakyat jelata hingga pejabat. Selain itu, jangan suka menyakiti hati orang dengan sengaja, apalagi mencari-cari kejelekan pribadinya. Kemudian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi sang wartawan itu sendiri, terutama materi.

Dengan prinsip kerja seperti itu, yang merupakan pencerminan keimanan dan sikap taqwanya kepada Allah SWT sebagai muslim, H.Eddy Padmadisastra merasa tidak mendapat kendala apapun dalam menulis ‘berita’ apa yang seharusnya ditulis. Bahkan, dalam upaya mempertebal keimanannya ia pun seringkali riadhoh atau pengajian ke Pondok Pesantren Suryalaya pimpinan Abah Anom di Pagerageung.

Karena berita-beritanya dinilai selalu objektif, maka tak mengherankan bila H.Eddy Padmadisastra banyak mendapat undangan dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta.

Bahkan, ia pun pernah beberapa kali mendapat undangan untuk melakukan perjalanan jurnalistik ke luar negeri. Pada tahun 1990 lalu misalnya, Pak Haji yang ternyata adalah anggota Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia ini, sempat melawat ke beberapa Negara Eropa Barat (Belanda) bersama rombongan Bupati Tasikmalaya, yang saat itu dijabat oleh H.Adang Roosman,SH.

Selama perjalanan jurnalistiknya bersama rombongan Bupati H.Adang Roosman SH tersebut, tentu saja banyak pengalaman yang berharga, dan bahkan banyak bahan berita yang ditulis untuk suratkabarnya. Dalam hal ini ia menulis berita, bagaimana pengaturan para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di pusat keramaian kota di Belanda yang tertib dan tertata dengan baik, sehingga bisa dicontoh di Tasikmalaya.

Demikian pula, bulan Oktober 1994 lalu, ia pun melakukan perjalanan jurnalistik ke beberapa negara Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Jepang atas undangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Kanwil Departemen Pertanian Jawa Barat.

Ketika ditanya mengenai kepribadian wartawan masa kini, H.Eddy Padmadisastra mengaku prihatin, terutama mendengar ada oknum wartawan yang terlibat tindak kriminalitas; pemerasan, premanisme, pencaloan CPNS dan lainnya.

“Jujur saja, saya sangat prihatin dengan perilaku ‘oknum’ wartawan yang bertindak di luar profesinya sebagai insan pers, tidak menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Bahkan, para wartawan sekarang kurang memperhatikan tatakrama atau sopan santun (etika sesuai KEJ) dalam pergaulan dengan para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya.”kata H.Eddy.

Walau diakuinya, para wartawan sekarang cukup pandai dalam mencari bahan berita dan menulis berita. Ada yang mengira, bahwa jadi wartawan itu sudah berarti segala-segalanya. Padahal, penghargaan masyarakat terhadap suatu profesi sangat tergantung pada amal perbuatan pribadi yang menyandangnya.

PRINSIP HIDUP

H.Eddy Padma menceritakan awal kariernya sebagai wartawan. Sebagai senior, ia mengawali kariernya di dunia jurnalistik sejak 4 Juli 1972 di Sinar Harapan (kemudian berganti nama menjadi Suara Pembaruan). Sebenarnya, secara kebetulan ia berkenalan dengan dunia kewartawanan, ketika ia masih menjadi PNS di Jawatan Sosial (Depsos). Ia mengaku sama sekali tidak pernah bercita-cita untuk menjadi wartawan. Namun, begitu ia ‘masuk’ dan diangkat sejak 4 Juli 1972 sebagai wartawan tetap Sinar Harapan dan berganti menjadi Suara Pembaruan, ia tidak pernah beranjak dari sana.

H.Eddy Padma, menurut beberapa rekan wartawan Tasikmalaya lainnya, merupakan figur yang sangat dihargai oleh pemerintah daerah di wilayah Priangan Timur terutama Tasikmalaya, karena jasa-jasanya dalam membantu pengumpulan dana bagi pengungsi korban meletus Gunung Galunggung 5 April 1982 dan bencana longsor di Bojonggambir.

Bahkan yang paling berkesan bagi H.Eddy Padma, yakni ketika menulis berita mengenai penderita tumor ganas bernama Masitoh (18) warga

Desa Neglasari Kec.Salawu Kab.Tasikmalaya. Gadis desa ini menderita penyakit tumor ganas pada bagian payudaranya membesar sampai melebihi badannya. Setelah pemberitaan itu, maka mengalirlah sumbangan dari para donatur melalui Koran Sinar Harapan, mulai dari masyarakat biasa sampai pejabat pusat dan bahkan Bu Tien Soeharto, sehingga Masitoh pun bisa dioperasi di RS Husada Jakarta dan penyakitnya sembuh.

Dengan kesembuhannya tersebut, maka Kepala Desa Neglasari maupun Bupati Tasikmalaya H.Hoedly Bambang Aruman menyatakan terima kasih kepada H.Eddy Padma, terutama kepada Sinar Harapan yang telah memberitakan penderita tumor payudara dan sekaligus banyak yang menggugah para dermawan membantu dalam pengobatan gadis malang itu.

Pria ramah ini lahir di Kawali Kab.Ciamis dan menikahi E.Komariah,Dra,Hj guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Tasikmalaya pada tahun 1959, kemudian dikaruniai 3 anak yakni Rita Sabarniati,SH,M.Si dan Sri Widyawati,SH,S.IP serta Bambang Kusnohadi, S.IP.

E. Komariah sangat mendukung terhadap H. Eddy Padma dalam menjalani profesinya sebagai jurnalis. Karena itu, sang istri tercinta selalu mendampingi dalam keadaan suka maupun duka, juga memahami profesi wartawan yang berbeda dengan profesi lain; yakni kerja yang tak mengenal batas waktu.

Selama ini, pria energik ini selalu konsisten pada prinsip hidupnya; bekerja selalu tekun, serius dan jujur sebagai tugas hidup karena Allah. Dia mengaku, bahwa profesi wartawan sebagai social control merupakan suatu tugas yang mulia.(BUDIN/REDI.)***

Lupa Keluarga Saat Peristiwa Dahana




DALAM dalam menjalani profesi sebagai wartawan terutama di era orde baru, menurut H.Eddy Padmadisastra, ternyata banyak suka dan dukanya. Bahkan sering lupa keluarga, maksudnya meninggalkan keluarga di rumah, demi tuntutan tugas dalam peliputan berita. Karena wartawan itu harus cekatan dalam menjalankan tugas setelah menerima informasi kejadian dan juga tidak mengenal batas waktu kerja. Kadangkala, wartawan harus meliput berita atau melakukan investigasi ke suatu daerah terpencil yang membutuhkan waktu lama, hingga kadang harus bermalam.
Hal ini dialami wartawan senior Eddy Padma yang ditugaskan surat kabar Harian Sinar Harapan di Tasikmalaya. Pada awal bulan Maret 1976 misalnya, ada peristiwa yang menghebohkan warga pada senja hari, yakni ledakan dahsyat terdengar di bagian timur pusat kota Tasikmalaya dan tidak jauh dari rumahnya di Jl.Ahmad Yani Gg.Sinar Harapan Pancasila.
Pada saat itu, koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padma tengah bersantai dengan keluarganya di rumah, tiba-tiba mendengar ledakan dahsyat dan ia segera keluar rumah. Bahkan ledakan itu menimbulkan getaran keras dan menggoncangkan bumi. Sebelah timur rumahnya itu terlihat pucuk api yang menjulang tinggi. Apalagi mendengar jeritan manusia yang menyayat hati. Apa gerangan yang terjadi di sana?
Naluri sebagai wartawan pun bekerja. Ia segera keluar rumah untuk mencari informasi; “Pabrik Roket dan Bahan Peledak Dahana Tasikmalaya Meledak”. Itulah informasi yang pertama diperolehnya. Ini berita besar, pikirnya.
Tanpa pikir panjang lagi, Eddy Padma pun segera meluncur ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Jl.Cibeureum, dimana pabrik roket dan bahan peledak Dahana itu berada. Dalam keadaan gelap gulita, karena aliran listrik tiba-tiba padam, maka dengan cekatan ia menerobos di antara massa yang berbondong-bondong di sepanjang jalan menuju lokasi ledakan dahsyat itu.
Pada saat itu, ia tidak bisa membedakan mana penduduk yang mengungsi untuk menghindari bahaya ledakan, dan mana penduduk yang justru sengaja ingin melihat musibah tersebut.Kemudian informasi segera dihimpun dari sana-sini dan data dikumpulkan.
Namun beberapa saat kemudian, kesadaran Eddy Padmadisastra muncul, karena di rumah ada keluarga. Pada saat itu, ia benar-benar lupa kepada keluarganya sendiri, meninggalkan keluarga dalam keadaan masyarakat yang ‘tagiwur’ panik. Walau bagaimana pun, ia panik juga karena lupa telah meninggalkan keluarga di rumah. Bagaimana nasib keluarga dan kemana mereka pergi? Mengapa ia harus meninggalkan keluarga? Namun, tugas adalah tugas! Eddy memutuskan, untuk tetap meluncur ke lokasi musibah dan mencatat segala sesuatunya secara lengkap untuk bahan berita.
Setelah merasa cukup memperoleh informasi untuk bahan berita, ia bergegas kembali ke rumah untuk menemui keluarga yang ditinggalkannya.”Alhamdulillah. Dengan perasaan lega, ternyata seluruh keluarga saya dalam keadaan sehat dan selamat,”kenangnya.
Bahan berita dan data yang diperoleh itu segera diolah menjadi berita yang dikemas sedemikian rupa. Kemudian mengangkat telepon; “Hallo…Redaksi Sinar Harapan,pabrik roket dan bahan peledak Dahana Tasikmalaya meledak. Korban jiwa tercatat sekian orang. Pengungsi berbondong-bondong ke lokasi yang dinilai aman…..” dan masih banyak yang dilaporkannya. Sambil menghelas nafas panjang, Eddy Padma pun mengakhiri laporannya via telepon. (Dicuplik dan diolah dari buku “AWAL PERJUANGAN (Dalam Fakta & Peristiwa) yang diterbitkan Sinar Harapan)***

Saya Disangka Bupati Tasik


SELAMA menjalani profesi kewartawanan, ternyata banyak pengalaman yang ‘unik’ berkesan dialami oleh H.Eddy Padmadisastra, karena ulah rekan-rekannya yang suka ‘heureuy’ bercanda. Tak terkecuali pada saat menjalankan tugas peliputan berita. Ini mungkin intermezo (hiburan segar) disela-sela menjalankan tugas bersama. Pengalaman berkesan itu tak mungkin terlupakan dalam catatan hidupnya.

Pada tahun 1981-an, menurut Eddy Padma, bahwa di antara 278 desa yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya ternyata masih banyak yang termasuk kategori ‘desa terisolir’ terpencil. Betapa tidak! Karena lokasinya memang jauh dari pusat keramaian ibukota Kabupaten Tasikmalaya dengan kondisi jalan yang belum tersentuh aspal seperti sekarang. Karena itu tak mengherankan, pejabat dari Pemda kabupaten dan bahkan pejabat di tingkat kecamatan, jarang ada yang mau berkunjung. Bahkan tak mengherankan pula, jika penduduk di desa-desa terpencil itu tidak kenal siapa Bupati Tasikmalaya, juga camat setempat.

Singkat cerita, wartawan yang bertugas meliput berita di Kabupaten Tasikmalaya khususnya anggota PWI menggelar acara Karya Wisata Wartawan ke desa-desa terpencil yang berada di wilayah Kecamatan Cigalontang paling ujung barat. Beberapa desa di kecamatan ini, letaknya lebih mudah ditempuh melalui Kabupaten Garut daripada dari Kecamatan Cigalontang.

Karena itu, rekan-rekan wartawan melakukan peninjauan ke desa-desa terpencil di Kecamatan Cigalontang melalui jalan setepat dari Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut. Rombongan wartawan harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki melalui jalan yang terjal dan mendaki bebukitan. Betapa melelahkan.

Adapun digelarnya kegiatan Karya Wisata Wartawan Tasikmalaya ke desa-desa terpencil itu tiada lain dalam rangka usaha Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melancarkan program “Koran Masuk Desa dan Desa Masuk Koran”. Artinya, penduduk pedesaan bisa memperoleh segala informasi melalui Koran yang masuk ke desa, dan kehidupan masyarakat desa itu sendiri akan termuat di koran setelah wartawannya melakukan peliputan melalui karya wisata wartawan.

Sejak dari Kecamatan Wanaraja, rombongan Karya Wisata Wartawan Tasikmalaya harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, bergerak melalui jalan setapak. Karena berjalanan kaki yang teramat jauh dan tersengat sinar matahari, tentu saja seluruh wartawan bermandi keringat dan mereka tampak kelelahan sekali. Ada banyak rekan wartawan yang tertinggal jauh dan beberapa kali harus beristirahat untuk melepaskan rasa lelah.

Pada perjalanan karya wisata tersebut, Eddy Padma berjalan paling depan, karena ia memang sudah terbiasa melakukan olahraga terutama jogging. Jadi, ketika harus melakukan perjalanan jauh seperti itu, ia tidak terlalu merasa kelelahan. Itulah pentingnya berolahraga.

Setelah melakukan perjalanan yang teramat jauh, akhirnya rombongan wartawan PWI Tasikmalaya tiba juga di sebuah desa terpencil, dimana kehidupan penduduknya benar-benar masih jauh tertinggal dan sikapnya polos.

Nah, tiba-tiba ada seorang wanita setengah umur lari tergopoh-gopoh dari belakang Eddy Padma sambil berteriak; “Pa Bupati….antosan!” (Pak Bupati…tunggu!)

Eddy awalnya teu malire pada teriakan wanita itu. Karena yang dipanggilnya juga Bupati Tasik, bukan dirinya. Namun ia kaget, karena wanita itu justru duduk bersimpuh di hadapan wartawan Sinar Harapan sambil berkata memelas, “Aduh…abdi teh nembe ayeuna tepang sareng Bapa


Bupati.”katanya (Aduh…saya baru sekarang bertemu dengan Bapak Bupati).

Tanpa pikir panjang lagi, Eddy Padma segera mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan wanita ‘lugu’. Sementara dalam hatinya berkata, hmm…kasihan sekali masih ada penduduk desa yang belum tahu wajah bupatinya sendiri. (Apa mungkin penduduk desa sekarang ada yang tidak tahu wajah bupati atau walikotanya sendiri…?)

Kejadian itu menimbulkan gelak tawa rekan-rekan wartawan yang menyaksikannya. Karena penasaran, selidik punya selidik, ternyata ada seorang rekan wartawan yang usil bin iseng, yakni membisikkan kepada wanita itu bahwa Eddy Padma adalah Bupati Tasikmalaya sambil menunjukkan kepadanya yang berjalan paling depan.

“Tapi, saya senang juga dihormati seperti seorang pembesar, Bupati Tasikmalaya….”kenang Eddy Padma.

Suka Duka Sebagai Istri Wartawan



E.KOMARIAH adalah istri tercinta H.Eddy Padmadisastra yang dipersunting pada tahun 4 Juli 1959. Pasangan suami istri yang selalu harmonis hingga tua ini dikarunia dua putri (Rita Sabarniati,SH,M.Si dan Sri Widyawati,SH,S.IP) dan seorang putra (Bambang Kusnohadi, S.IP).
Selama mendampingi sang suami, H.Eddy Padma seorang wartawan di sebuah surat kabar besar terbitan Jakarta (Suara Pembaruan yang sebelumnya bernama Sinar Harapan), pensiunan guru SMAN 1 Tasikmalaya ini mengaku banyak kisah suka dan dukanya.
“Tapi lebih banyak sukanya.Dalam hal ini, misalnya saya sering mendampingi Pak Haji saat mengikuti liputan ke objek-objek wisata dan bahkan lawatan ke luar negeri seperti ke Malaysia nonton pertandingan bulutangkis saat itu Liem Shie King yang juara, sehingga saya bisa liburan dan banyak menambah pengalaman, ”ungkapnya.
Tugas jusnalistik ke luar negeri seperti Hongkong dan Belanda, baik ditugaskan kantor maupun mendapat undangan dari pemerintah, dipastikan E.Komariah ikut serta. Bahkan, ia sebagai guide bagi sang suami maupun rombongan. Maklum saja, ia seorang guru Bahasa Inggris di SMAN 1 Tasikmalaya, tentunya fasih dalam berbahasa asing terutama Inggris. Dengan demikian, rombongan pada lawatan jurnalistik ke mancanagara terasa tenang, karena istri Eddy Padma bisa membantu dalam hal komunikasi dengan orang asing.
Kalau dukanya, bukan karena masalah materi, karena selain ia bekerja sebagai PNS dan juga penghasilan sebagai wartawan surat kabar besar sangat memadai. Namun yang menjadi persoalan, karena ia bersama putra-putrinya seringkali ditinggalkan tugas untuk peliputan berita terutama ke luar kota dalam waktu beberapa hari seperti ketika ditugaskan ke Maros Ujungpandang selama 14 hari mengikuti “Pekan Nasional VII Pertanian dan Keluarga Berencara” pada 3 Juli 1988. Walaupun kebutuhan hidup keluarganya dijamin oleh kantor, menurut E.Komariah, keluarganya tetap saja merasa kehilangan ‘sang bapak’ selama dua minggu.
“Saya sih bisa memakluminya, karena pekerjaan wartawan itu tidak mengenal batas waktu. Tidak ada waktu siang maupun malam,”tuturnya.
Begitu pun sehar-harinya, meski bertugas di Tasikmalaya, keluarganya sering ditinggal Eddy Padmadisastra saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Bahkan seringkali, suaminya pulang malam hingga dini hari. Tapi itulah tugas seorang wartawan yang benar-benar wartawan.
Dalam mendampingi suaminya, Hj.E.Komariah bukan sekedar mendampingi, justru ia banyak membantu. Betapa tidak! Sebelum tulisan beritanya dikirim ke redaksi, H.Eddy Padma selalu minta bantuan
Hj.E.Komariah, untuk ‘ngedit’ mengoreksi berita; baik itu gaya penulisan, susunan kalimat dan tanda baca hingga judul berita agar menarik dan enak dibaca.
“Sebab, pengiriman berita ke Sinar Harapan atau Suara Pembaruan itu sangat ketat. Selektif.”tutur Bu Haji.
Karena itu tak mengherankan, jika berita yang dibuat H.Eddy Padma sebelum dikirim ke redaksi, tentu saja harus dikoreksi oleh sang istri dan harus beberapa kali diulang untuk diperbaiki. Pria ini selalu menghargai pendapat, koreksi dan peran sang istri dalam menunjang kariernya.
“Pak Haji itu tak pernah marah bila beritanya dikoreksi dan dikritik. Justru sangat menghargai. Begitu pun bila dikoreksi atau dikritik oleh orang lain.”kata wanita kelahiran Tasikmalaya ini.
Ada pengalaman yang mungkin tak terlupakan oleh E.Komariah bersama putra-putrinya, yaitu ketika peristiwa pabrik roket dan bahan peledak Dahana di Cibeureum meledak pada bulan Maret 1976 yang menghebohkan warga Tasikmalaya. Pada saat kejadian itu, kalau para tetangganya bisa berkumpul bersama keluarga, tapi ia dan anak-anaknya yang masih kecil justru ditinggalkan Eddy Padma untuk meliput berita ke lokasi kejadian.
“Pada saat itu, saya dan anak-anak sempat panik, karena melihat tetangga yang mau pada ngungsi untuk menyelamatkan diri dan keluarga. Sementara saya dan anak-anak, justru ditinggalkan Pak Haji yang mendekati lokasi kejadian. Bahkan saya sangat khawatir, Pak Haji yang menuju lokasi kejadian mengalami hal-hal yang tidak diharapkan.”ungkapnya.
Namun itulah tugas wartawan, menurut E.Komariah, kalau orang lain menjauhi lokasi musibah untuk menyelamatkan diri. Sebaliknya dengan wartawan, justru mendekati lokasi musibah untuk mendapatkan bahan barita (informasi dan foto) yang akurat untuk dipublikasikan.

Perjalanan Jurnalistik ke Belanda Bersama Bupati Tasik





SEMINGGU sebelum melakukan perjalanan jurnalistik ke Belanda, H.Eddy Padmadisastra yang bergabung dengan HU Suara Pembaruan setelah H.U. Sinar Harapan dibredel pemerintah, mengaku terkejut karena hanya dia seorang wartawan anggota PWI yang menerima undangan dari Pemda Tasikmalaya untuk mengikuti rombangan Bupati Tasikmalaya H.Adang Roosman,SH.

Karena merasa penasaran, pria jangkung ini segera menghadap Bupati Adang Roosman dan menanyakannya. “Pak Bupati menjelaskan alasannya, bahwa Pemda Tasikmalaya diundang oleh seorang pengusaha Indonesia yang ada di Belanda setelah membaca berita Suara Pembaruan yang memuat berita mengenai segala potensi di Kabupaten Tasikmalaya. Jadi, wajar bila koresponden Suara Pembaruan yang telah mengangkat potensi Kabupaten Tasikmalaya diikutsertakan pada studi banding sekaligus melakukan tugas jurnalistik.”ungkapnya.

Kesempatan ‘emas’ langka ini tidak disia-siakannya. Setelah mendapat keterangan demikian, Eddy Padmadisastra segera menghubungi Redaksi Suara Pembaruan dan memperoleh izin, sehingga turunlah surat tugas perjalanan jurnalistik ke Belanda selama 20 hari sejak tanggal 27 Agustus 1990.

Keberangkatan rombongan Pemda Tasikmalaya ke Belanda antara lain: Bupati H.Adang Roosman,SH, H.Rustijo,SH, Oon Urawan, Wahyu dan Ajat Sudrajat. Sedangkan pengusahanya adalah H.Adang Kamil,H.Amas dan H.Karsono orangtua pemilik TAZ TV.

Karena nalurinya sebagai wartawan professional, maka H.Eddy Padmadisastra selama berada di Den Haag Belanda, terus saja mengirimkan laporannya untuk dimuat Suara Pembaruan meski pada saat ini sarana komunikasi tidak secanggih sekarang seperti adanya internet yang cepat diakses.

Dan salah satu laporannya, Eddy Padmadisastra menulis mengenai ketertibatan atau tata letak para pedagang kaki lima (PKL) di pusat Belanda yang tertib dan teratur sehingga terkesan ‘asri’ rapi. Dengan demikian, penataan raung kota mengenai PKL di Negeri Kincir Angin bisa diterapkan di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di kota Tasikmalaya.

Selain itu, ketika berada di Belanda, Eddy Padmadisastra banyak melakukan komunikasi dengan orang pribumi maupun orang asing, tentu saja minta komentarnya mengenai Indonesia di mata dunia. Pada umumnya, mereka mengetahui Indonesia itu dari media massa; surat kabar harian besar (Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Bisnis Indonesia, The Jakarta Post) atau majalah seperti Tempo yang beredar di luar negeri.

Ada hal menarik, karena pengusaha pribumi maupun pengusaha Indonesia yang berada di Belanda dan negara Eropa lainnya, yang mengetahui segala potensi di Kabupaten Tasikmalaya pimpinan Bupati H.Adang Roosman SH saat itu, justru dari pemberitaan yang dimuat Suara Pembaruan.

“Saya mengetahui potensi yang dimiliki Kabupaten Tasikmalaya, setelah membaca berita yang Anda tulis di Suara Pembaruan beberapa waktu lalu,

sehingga kami mengundang pejabat Pemda Tasikmalaya datang kemari,”ujar seorang pengusaha Belanda kepada Eddy Padma saat itu.

Pulang dari Belanda, Eddy Padmadi selain menuliskan perjalanan jurnalistiknya selama 20 hari bersama rombongan Pemda Kabupaten Tasikmalaya, tentu saja membawa ‘oleh-oleh’ seabreg bahan berita sebagai bahan laporan dan penulisan ‘feature’ berita untuk dimuat Suara Pembaruan. Itulah sebabnya, setiba di rumahnya dan selama beberapa hari, ia menggarap bahan berita untuk kemudian dipublikasikan di media tempatnya bekerja.

“ Jadi, selain saya bisa jalan-jalan ke luar negeri secara gratis dan menambah banyak pengalaman maupun kolega, juga banyak mengumpulkan bahan berita. Perjalanan jurnalistik saya bersama rombongan Pemda Tasikmalaya pun menjadi tidak sia-sia. Dan yang pasti, keikutsertaan saya ke Belanda merupakan suatu penghargaan tersendiri, dan menjadi catatan sejarah dalam hidup saya.”ungkapnya bangga.

Terharu Bisa Membantu Penyembuhan Penderita Kanker Payudara



DUNIA kewartawanan yang ditekuninya selama 22 tahun lebih, menurut koresponden Sinar Harapan (Suara Pembaruan) H.Eddy Padmadisastra, ternyata telah memberikan warna tersendiri dalam hidup dan kehidupannya. Itulah sebabnya. Tatkala dinyatakan harus pensiun meski diperbolehkan untuk mengirimkan berita ke surat kabarnya, ia sempat shock. Karena ia sangat mencintai dunianya sebagai wartawan. Ada kepuasan bathin!
Selama dalam menjalankan profesinya sebagai sebagai jurnalis, ternyata ada banyak kesan yang teramat mendalam, terutama dapat membantu orang banyak yang membutuhkan pertolongan. Bahkan, ia sangat terharu karena bisa membantu proses penyembuhan Masitoh (18) penderita kanker payudara, yang besar payudaranya 28 kg.
“Pada mulanya, saya hanya menulis beritanya saja, agar penderita penyakit ini diketahui publik dan juga pemerintah daerah setempat untuk menolong dalam pengobatannya.”kenangnya.
Selanjutnya dia menceritakan; ada seorang gadis bernama Masitoh (18) warga Desa Neglasari Kec. Salawu Kab.Tasikmalaya yang menderita penyakit “ aneh dan misterius” karena payudaranya membesar hingga 28 kg.Kemudian ia menuliskan berita yang dimuat koran sore Sinar Harapan lengkap dengan foto gadis bernasib malam itu.
Setelah berita itu dimuat, selain mendapat respon dari Pemda Tasikmalaya, juga dari pembaca hingga kalangan medis di Jakarta dan pemerintah pusat. Bahkan, redaksi Sinar Harapan membuka “Dompet Amal bagi Masitoh” untuk mengumpulkan sumbangan dari masyarakat seluruh Indonesia. Tak terkecuali Menkes RI turun tangan menugaskan tim dokter untuk menanganinya dan bahkan Bu Tien Soeharto pun turut menyumbang.
Begitu dana sumbangan dari pembaca sudah terkumpul, Redaksi Sinar Harapan menugaskan Eddy Padma agar membawa Masitoh untuk berobat ke Rumah Sakit Husaha (RSH) Jakarta.Ia tidak menduga, kalau orang kantornya tampak serius dalam membantu penyembuhan warga Kabupaten Tasikmalaya yang diberitakannya itu.
Tatkala tiba di Jakarta saja, Masitoh langsung dibawa ke Rumah Sakit Husada untuk mendapat perawatan dan penanganan secara intensif oleh tim dokter spesialis. Kemudian penderita penyakit ganas dari keluarga miskin ini segera dioperasi tim dokter dan operasi payudara Masitoh pun berhasil dengan baik. Setelah menjalani perawatan di bawah pengawasan tim dokter RSH Jakarta, penyakit “aneh dan misterius” itu pun sembuh total dan bisa mengenakan BH.
Pasca operasi payudara yang berhasil itu, Masitoh pulang ke Desa Neglasari di Kec.Salawu Kab. Tasikmalaya dengan hidup baru, juga semangat baru untuk tetap hidup bersama keluarganya.
Sementara itu, keluarga Masitoh yang termasuk keluarga miskin mendapat perhatian dari Pemda Tasikmalaya, setelah membaca berita yang dimuat Sinar Harapan. Bupati Tasikmalaya H.Hudly Bambang Aruman melalui Kantor Dinas Sosial yang diwakili Drs.Subagja dan Kabag Humas U.Iskandar menyerahkan bantuan beras sebanyak 1 kwintal dan lauk pauk.
Bantuan masyarakat pembaca Sinar Harapan berupa kiriman weselpos yang dikirim langsung ke alamat Masitoh ternyata cukup banyak berdatangan dari segenap pelosok tanah air, yang diiringi doa dengan harapan Masitoh segera sembuh.
Selama mendampingi Masitoh dalam proses pengobatan dan penyembuhan penyakit ganas pada payudara gadis malang itu, Eddy Padmadisastra tak mengenal lelah, meski ia harus bolak-balik Tasik-Jakarta.
“Nah, ketika Masitoh itu sembuh dan kembali ke desa, saya benar-benar bahagia dan terharu. Ada kepuasan bathin yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.”ungkap Eddy Padma.
Namun yang jelas, dengan memberitakan penderitaan gadis berpayudara besar itu di surat kabar Sinar Harapan dan turut mendampinginya selama berobat di RS Husada Jakarta dengan niat karena Allah SWT semata, berarti Eddy Padma telah turut membantu proses penyembuhan seorang pasien dan meringankan beban hidup keluarga miskin.
Ada semacam penghormatan tersendiri tatkala dapat menolong sesama ummat yang membutuhkan pertolongan.Inilah yang menjadi kepuasan bathin bagi seorang wartawan.***

Gunung Galunggung Meletus 5 April 1982





Rekaman Sebuah Peristiwa


BILA bertemu dengan tanggal 5 April, H.Eddy Padmadisastra selalu merenung dan menerawang jauh ke masa silam tepatnya 5 April 1982 lalu, dimana ia menjadi koresponden “Sinar Harapan” yang bertugas di Tasikmalaya. Karena pada Senin dinihari 5 April 1982 itu, Gunung Galunggung yang berada di sebelah barat Tasikmalaya atau sebelah selatan Jawa Barat, tanpa diduga meletus dengan dahsyatnya. Peristiwa meletusnya Gunung Galunggung tersebut yang tiap hari diekspose Eddy Padmadisastra itu

merupakan Rekaman Peristiwa bersejarah yang kemudian dibukukan oleh Sinar Harapan.

Senin, 5 April 1982.

Penduduk di Kabupaten Tasikmalaya terutama yang berada di kawasan kaki Gunung Galunggung, awalnya tidak merasa curiga dan bahkan menduga, akan terjadi malapetaka yang maha dahsyat. Karena gunung tersebut tidak menimbulkan gejala apa-apa. Kecuali itu, beberapa waktu sebelumnya, penduduk yang mendiami di desa-desa di lereng gunung memang mencium bau ‘gas’ belerang yang cukup menusuk hidung.

Pada Minggu malam sekitar pukul 23.00 WIB, beberapa penduduk yang belum terlelap tidur,merasa ada getaran gempa. Jadi, mereka mengira ada gempa bumi saja. Namun pada Senin dini hari sekitar 02.00WIB, Gunung Galunggung memuntahkan lava, abu dan kerikil yang disertai dentuman yang keras, kemudian disusul dengan asap tebal hitam mengepul dan membubung tinggi ke angkasa.

Tak pelak lagi, penduduk yang berada di lereng gunung segera bangun dan seketika panik. Bahkan mereka berusaha menyelamatkan diri ke tempat yang dinilai aman; mereka mengungsi.

Puluhan ribu penduduk desa di wilayah Kec.Cisayong, Kec.Indihiang dan Leuwisari di lereng bagian timur, segera berduyung-duyung mengungsi ke Kota Tasikmalaya. Peristiwa meletusnya Gunung Galunggung pada dini hari Senin 5 April 1982 itu dilaporkan oleh koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padma.

Selain desa-desa di lereng gunung, juga mengungsi penduduk Desa Sinagar, Desa Sukaratu, Desa Rancapaku, Desa Linggajati, Desa Sukamahi, Desa Sukagalih dan desa lain yang kejatuhan abu maupun kerikil.Sepanjang hari Senin, arus pengungsi terus bertambah dengan penuh kepanikan.

Bupati Tasikmalaya H.Hoedly Bambang Aruman, Komandan Resimen 062 serta para pejabat Pemda Tasikmalaya segera tenggelam dalam kesibukan. Para pengungsi ditempatkan di Gedung Olahraga Sukapura, sementara kantor-kantor, bangunan Sekolah Dasar serta tempat-tempat umum dibuka untuk untuk menampung para pengungsi dengan keluarganya berikut barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Pada hari Senin itu pula, Bupati Tasikmalaya serta Danrem melakukan peninjauan, dan peristiwa meletusnya Gunung Galunggung dilaporkan kepada Gubernur Jawa Barat H.Aang Kunaefi.

Dan di antara ribuan pengungsi, tampak pula HR Wasita Kusumah mantan Gubernur NTB yang tinggal di Desa Sukagalih, tak jauh dari lereng Gunung Galunggung. Ia dijumpai koresponden “Sinar Harapan” tengah membantu para pengungsi yang ditampung di beberapa tempat di Kota Tasikmalaya.

Senin itu, gunung masih menyemburkan api dan abu yang terbawa angina ke arah barat, hingga ke kota Singaparna, Kabupaten Garut dan Bandung gelap gulita diselimuti abu tebal. Koresponden “Sinar Harapan” melaporkan seakan-akan malam, juga Tasikmalaya dan garut. Bahkan, jarak pandang di jalan-jalan raya Garut dan tasikmalaya, dilaporkan kurang dari 20 meter.

Laporan koresponden “Sinar Harapan” di Garut menyebutkan, sejak pagi hari Senin itu, abu terus turun hingga keadaan menjadi gelap gulita. Akibatnya, sekolah-sekolah tutup, dan murid-muridnya diliburkan. Demikian pula toko dan kantor-kantor tidak menunjukkan aktivitasnya. Sampai malam hari, kota Garut sunyi sepi seperti kota mati, penduduk diceram perasaan takut dan masing-masing menutup pintu rumahnya.Abu yang yang mengendap di Garut dan Tasikmalaya mencapai ketebalan dua sentimeter. Sedangkan arus lalulintas antara Bandung, Tasikmalaya , dan Garut mengalami kemacetan. Hal ini dikarenakan kendaraan yang melaju tidak bisa bergerak cepat akibat kaca-kaca mobil tertutup abu tebal.

Koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padma yang segera menuju ke lokasi musibah melaporkan, bahwa Desa Linggajati di Kec.Indihiang merupakan desa yang paling parah menderita. Desa yang baru saja dimekarkan dan berpenduduk 4.000 jiwa itu hancur tertimbun batu-batuan dan lumpur panas. Tim SAR dan TNI AU yang berpangkalan di Lanud Cibeureum bersama masyarakat yang dikerahkan berhasil menyelamatkan seluruh penduduk desa, kecuali dua orang kakek yang melarikan diri,justru ke daerah yang berbahaya. Seorang kakek meninggal dunia.

Pada hari Selasa 6 April 1982, para pengungsi tercatat berjumlah sekitar 31.000 orang, sementara 24 kampung ditinggalkan penduduknya. Akibat letusan pertama Gunung Galunggung ini, sungguh tragis dan menyedihkan. Karena desa-desa hancur, rumah-rumah milik penduduk di Desa Linggarjati dan Desa Sinagar tampak berantakan, tanaman mengering, pesawahan

timbun pasir, sungai-sungai tercemar oleh lahar dingin dan panas. Sementara itu, Gunung Galunggung terus terusan menyemburkan pasir, mengeluarkan asap dan tetap aktif.

Rabu pagi 7 April 1982 penduduk kembali khawatir. Karena dari anak Gunung Jadi tampak kepulan asap yang membubung tinggi ke angkasa, sedang aliran lumpur dan batu-batuan mulai memenuhi sungai dan jalan-jalan desa. Wartawan foto “Sinar Harapan” Totok Soesilo berhasil merekamnya secara dramatis, baik di lokasi terdekat dengan letusan Gunung Galunggung maupun di tempat-tempat pengungsian.

Selanjutnya tim wartawan “Sinar Harapan” yang terdiri dari H.A.Risnanto, Indra Rondonuwu, Totok Soesilo berikut koresponden Eddy Padmadisastra, Tjetje Hermawan dan Soemartono yang dikirim ke lokasi musibah melaporkan pandangan mata mengenai desa-desa yang terkena musibah.Demikian pula, banjir-banjir lumpur menyusul letusan pertama, membuat kampung Nyalindung dan Parakan Kawung (Desa Sukagalih), juga Desa Sukaratu serta Sungai Ciponyo tertimbun rata. Tak kurang 2.000 bangunan rumah di kampung-kampung sekitar kaki Gunung Galunggung menjadi korban,dan juga ribuan hektar tanaman ikut musnah.

Ketika berada di Desa Tawang Banteng, wartawan “Sinar Harapan” hari Kamis pagi 8 April 1982 masih melihat asap mengepul berwarna putih kegelapan. Penduduk dijaga ketat oleh aparat, agar mereka tidak memasuki daerah berbahaya, karena bau ‘gas’ belerang sudah semakin menyebar. Sungai-sungai dikabarkan berubah warna menjadi hitam pekat, juga dibebani lumpur dan sediment berbagau belerang. Di udik tampak kepulan asap keluar dari sungai yang dicemari lahar panas.

Sementara para kontestan Pemilu yang sedang melakukan kampenye di daerah bencana, akhirnya segera mengalirkan misinya dengan kampanye kemanusiaan, dengan cara menolong para korban bencana dan pengungsi.


Bantuan sudah berdatangan ketika berita musibah meletusnya Gunung Galunggung disiarkan di surat-surat kabar harian, termasuk TVRI dan RRI. Beras, pakaian, minyak tanah, tikar dan uang berdatangan untuk membantu para pengungsi korban bencana meletusnya gunung berapi ini. Bantuan ini berasal dari instansi resmi maupun masyarakat dari seluruh pelosok tanah air. Dari mulai Presiden HM Soeharto, Wakil Presiden, Departemen Sosial serta instansi masyarakat dan pribadi-pribadi mengirimkan bantuannya. Juga tak ketinggalan sejumlah menteri dan pejabat segera meninjau langsung ke lokasi bencana alam Gunung Galunggung.

MELETUS LAGI

Walau belum lagi reda kesibukan mengatur para pengungsi dan penduduk merenungkan korban yang meninggal dunia, tiba-tiba pada Kamis malamnya, daerah sekitar Gunung Galunggung digemparkan lagi oleh letusan yang lebih dhasyat dari sebelumnya. Bahkan, letusan pada Kamis malam ternyata tidak sekali, tetapi merupakan rangkaian letusan sampai pada hari Jum’at.

Sebenarnya, hari Kamis pagi, keadaan sudah kembali gawat dan memprihatinkan. Karena kepulan kepulan asap kelihatan pada kawah-kawah anak Gunung Galunggung. Benar saja, karena pada malam harinya terjadi serangkaian letusan bergetar ke suluruh penjuru. Api muncrat ke atas menerangi suasana malam beserta kepulan asap yang membubung tinggi ke angkasa. Batu-batu berloncatan dan kerikil bertaburan menimpa rumah-rumah penduduk yang masih berdiri.

Eddy Padma bersama tim wartawan “Sinar Harapan” yang datang ke hulu Sungai Cibanjaran pada Jum’at pagi melihat, jalur aliran sungai dipenuhi lahar panas. Pesawahan yang subur dan perkampungan di daerah itu menjadi rata disapu lahar panas. “Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan lumpur dengan batu-batuan yang terjal sementara tumbu-tumbuhan di sekitar hangus oleh sapuan lahar panas.”ungkap Eddy Padma seraya menyebutkan bahwa korban jiwa tercatat ada 9 orang.

Demikian pula ketika terjadi letusan pada Kamis malam itu, penduduk Kota Tasikmalaya menjadi panik, karena khawatir letusan Gunung Galunggung sampai ke pusat kota kabupaten. Apalagi ketika penduduk sedang menyaksikan acara TVRI pada pukul 21.06 tiba-tiba dikejutkan oleh ledakan yang keras dan bergemuruh. Bumi seakan bergetar dengan kekuatan 3,8 skala Richter. Ketika melihat ke luar rumah, kelihatan Gunung Galunggung menyemburkan kilatan api berwarna merah menyala, sehingga terjadi suasana hangar bingar. Penduduk pun hilir mudik untuk mencari perlindungan. Bahkan, mereka berbondong-bondong meninggalkan rumah masing-masing, memadati jalan-jalan kota. Kebanyakan mereka pergi menuju arah timur ke jurusan Ciamis.

Eddy Padma melaporkan, tercatat tidak kurang dari separuh penduduk kota Tasikmalaya yang berpenghuni sekitar 200.000 orang itu meninggalkan rumah, mengungsi di tengah-tengah siraman hujan pasir dan debu yang menambah kepanikan. Ribuan kendaraan bermotor mengangkut penduduk yang panik, antara lain bis, truk, sepeda motor bahkan dokar dan gerobak yang ditarik sapi. Akibatnya, arus lalulintas macet total, kendaraan hanya bisa berjalan merangkak. Bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan terpaksa berjalan kaki sambil menenteng atau memikul barang apa saja yang bisa ‘dibawa’ diselamatkan, menyelurusi jalan berkilo-kilo meter tanpa arah tujuan.

Sekitar pukul 22.00 WIB, petugas Dinas Penerangan Pemda Tasikmalaya dengan mobil unitnya berkeliling kota, menyerukan agar penduduk tetap tenang dan tidak melakukan pengungsian secara besar-besaran. Juga pengumuman yang disiarkan melalui siaran radio. Namun, penduduk tidak menghiraukan seruan itu. Demikian pula, para pengungsi yang berada di lokasi pengungsian ikut panik begitu mendengar letusan dahdyat dari Gunung Galunggung. Dalam keadaan panik, mereka berteriak-teriak, menangis dan tidak menentu. “Kemana lagi mereka harus melarikan diri jika warga kota sendiri mengungsi?”

Sementara itu, hotel tempat rombongan Gubernur Jawa Barat H.Aang Kunaefi yang meninau musibah, segera ditinggalkan pemilik dan pelayannya yang turut melarikan diri untuk mengungsi. Beberapa anggota rombongan Gubernur Jabar, ternyata ikut-ikutan panik,mereka meninggalkan hotel bersama penduduk.

Pada hari Jum’at siang, akibat dari letusan Gunung Galunggung malam harinya tampak dengan jelas, batu-batu dan ketikil bergeletakan. Rumah-rumah rusak dan roboh.Kini lumpur dari gunung mengalir dengan deras, menggenangi sawah dan sungai. Bahkan, sungai yang mengalir ke desa-desa sekitar gunung hingga Kota Tasikmalaya dipenuhi lumpur yang tebal dan mengalir deras. Rumah-rumah penduduk di aliran sungai disapu lumpur bersama bangunan lain serta pohon-pohonan yang tumbuh di sekitar roboh, rusak dan mati.

Prof. Katili yang datang ke dekat lokasi bencana alam memperkirakan, bahwa kawah Gunung Jadi,anak Gunung Galunggung yang meletus diperkirakan mempunyai endapan tak kurang dari delapan juta kubik. Tapi untungnya, letusan gunung tidak terjadi sekaligus.”Kalau sampai letusan itu sekaligus dan endapan itu menjadi

cairan panas, maka tidak akan terhitung lagi berapa orang yang akan menjadi korban meninggal,”jelas Prof.Katili kepada pers.

Kini jumlah pengungsi di berbagai penampungan mencapai 63.625 orang. Jumlah ini terus bertambah mulai dari letusan pertama sampai hari Minggu.Para pengungsi sebanyak itu ditempatkan di 23 tempat penampungan yang jauh dari lokasi letusan dan dinilai aman. Bantuan makanan mulai berdatangan meski tersendat-sendat. Selama dalam pengungsian, banyak pengungsi yang bingung karena harus menjual apa yang dibawanya seperti ayam, domba, perhiasan dan lainnya

Pada Senin pagi, seminggu pasca letusan, Presiden RI HM Soeharto dan Bu Tien Soeharto meninjau ke Desa Mangunreja Kec.Singaparna. Selain menyerahkan bantuan berupa uang sebesar Rp.10 juta, Presiden HM Soeharto pun menganjurkan penduduk yang sudah tidak bisa menggarap lahan pertanian, agar bersedia bertransmigrasi terutama Pulau Sumatera.

Setelah kunjungan Presiden RI bersama rombongan pejabat, ternyata letusan Gunung Galunggung tidak berhenti sampai di situ. Beberapa waktu kemudian, gunung itu pun kembali menyemburkan isi perutnya. Bahkan, pada hari Senin tercatat tiga kali letusan dahsyat Awan berkepul laksana kena bom hydrogen.Akibat letusan-letusan berentet ini menyebabkan penduduk tidak bisa lagi pulang ke kampung halamannya. Mereka lebih memilih tinggal di lokasi pengungsian.

Sampai tanggal 15 April 1982, berdasarkan laporan Satkorlak Penanggulangan Bencana Alam yang diterima Eddy Padmadisastra, sedikitnya tercatat 15 orang meninggal dunia. Lima orang di antaranya meninggal dunia akibat tertimba batu dan terlibas lahar. Seorang korban ditemukan mati di sekitar Kampung Sinagar, tertimbun lumpur. Dengan wajahnya sudah tidak dikenal lagi karena hancur.

Kisah parah pengungsi sungguh sangat menyedihkan. Dan di antara isak tangis penderitaan para pengungsi itu, muncul berbagai kisah kemanusiaan, seperti lolosnya seorang petugas vulkanologi dari kepungan banjir lahar. Ruska Hadian, petugas vulkanologi yang tengah melakukan penelitian justru terkurung lahan selama empat hari empat malam. Syukurlah, ia akhirnya dapat keluar dari kepungan lahan dan kembali dengan selamat. Sementara di lokasi pengungsian, kisah cinta seorang gadis Maemunah dan pemuda Supardi justru meneruskan tekadnya untuk melangsungkan pernikahannya.

Selain itu, bayi-bayi pun banyak yang lahir dari ibu-ibu pengungsi. Tim kesehatan dikerahkan untuk menolong para pengungsi yang sakit, termasuk

tim dari PMI. Selain makanan, obat-obatan serta pakaian, sebenarnya mereka membutuhkan sesuatu yang lebih bermanfaat; yakni bedeng-bedeng tempat mereka tinggal untuk sementara, karena selama ini mereka hanya ditampung di tenda-tenda darurat milik ABRI. Sebagian besar masih mengungsi di gedung-gedung sekolah, kantor dan lainnya. Sedangkan sebagian lagi, ada yang tinggal di tenda-tenda dan gubuk-gubuk darurat yang tidak memenuhi syarat kesehatan

Pada hari Selasa 20 April, Eddy Padma melaporkan ke Redaksi “Sinar Harapan” bahwa letusan Gunung Galunggung kembali terdengar. Gunung ini seperti tak mau berhenti untuk memuntahkan kemarahannya. Juga pada Minggu dini hari 25 April, Gunung Galunggung kembali meletus, bahkan lebih dahsyat dari letusan-letusan sebelumnya. Namun, letusan yang

menggelegar, api yang muncrat, asap yang tinggi disertai pasir dan debu yang menyebar ke sepanjangan kawasan 100 km, kini tidak membuat kepanikan bagi penduduk. Bahkan, penduduk Tasikmalaya keluar rumah bukan untuk mengungsi, melainkan menonton kilatan api yang disemburkan gunung bagaikan kembang api raksasa. Kali ini, musibah letusan disusul dengan musibah lahar dingin berupa lumpur yang mengalir dari puncak gunung.

Selanjutnya pada Kamis petang 29 April, koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padmadisastra melaporkan, tercatat sebanyak 58 rumah hancur dilanda lahar dingin bercampur batu besar yang bergaris tengah sekitar 3 meter. Selain banyak rumah yang hanyut terbawa lumpur dan sebagian lagi tertimbun lahar dingin.

Bagi penduduk yang berada di kawasan lereng Gunung Galunggung, bahwa April 1982 merupakan musibah yang bertubi-tubi dan penuh penderitaan. Apakah penderitaan berhenti pada bulan April ini saja? Apakah Gunung Galunggung tak akan meletus lagi?

Pertanyaan itu senantiasa melanda di lubuk hati penduduk di sekitar Gunung Galunggung yang tengah berada di tempat penampungan pengungsi. Syukurlah, manusia-manusia yang hidup jauh dari daerah musibah terketuk hatinya untuk membantu penderitaan mereka. Karena itu, sumbangan-sumbangan berdatangan, juga peninjauan regu-regu kesehatan berkunjung, misalnya tim kesehatan dari UKI (Universitas Kristen Indonesia) yang menggarap kesehatan pengungsi yang kebanyakan menderita radang snafas, di samping penyakit-penyakit lainnya.

Demikian pula, para pembaca “Sinar Harapan” berdatangan tak putus-putusnya ke meja redaksi untuk menyumbang. Dengan membludaknya sumbangan tersebut, maka “Sinar Harapan” membuka dompet amal bagi pengungsi Gunung Galunggung mulai tanggal 12 April.

Luar negeri pun menaruh perhatian besar pada musibah meletusnya Gunung Galunggung yang tiada hentinya itu. Badan untuk penanggulangan bencana alam dunia (PBB) segera mengirimkan bantuan tenaga ahli untuk meneliti. Berdasarkan laporan ANDRO, bahwa musibah akibat letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat merupakan musibah terparah di dunia.

Setelah dianjurkan Presiden Soeharto, gelombang transmigrasi ke daerah harapan baru mulai berlangsung. Pada tanggal 26 April, sebanyak 232 jiwa terdiri dari 55 kepala keluarga (KK) diberangkatkan dari Lapangan Udara Cibeureum dengan menggunakan pesawat terbang Transal ke Sumatera Selatan. Dalam rombongan transmigrasi tersebut, koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padmadisastra ikut ke Sumatera Selatan untuk meliput peristiwa bersejarah ini.

Gunung Galunggung benar-benar murka! Betapa tidak, karena pada Kamis 6 Mei 1982, Gunung Galunggung kembali memperlihatkan kemurkaannya. Letusan kali ini, hujan abu tak hanya mencapai Bandung, tapi juga sampai ke kota-kota lainnya bahkan hingga ke negara Australia. Keesokan harinya, Jum’at 7 Mei, penduduk di Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang dan lainnya disibukkan dengan menyapu pasir dan debu yang menutipi halaman rumah maupun jalan-jalan sampai ketebalan beberapa sentimeter. Pada sisi

lain, keadaan pengungsi di sejumlah tempat penampungan pengungsi makin parah saja. Bahkan pada 12 Mei ada dua orang meninggal dunia, sedangkan pengungsi lain menderita sakit mencret, saluran pernafasan, dan sakit mata.

SUMBANGAN PEMBACA SINAR HARAPAN

Sabtu 8 Mei 1982, rombongan Tim “Sinar Group” yang menerbitkan surat kabar “Sinar Harapan” berkunjung ke Tasikmalaya, membawa pesan dan sumbangan pembacanya langsung ke daerah musibah, terutama ke lokasi penampungan pengungsi.

Rombongan tim Sinar Group dipimpin langsung oleh Pemimpin Umum “Sinar Harapan” H.G.Rorimpandey sendiri. Iring-iringan kendaraan yang membawa bantuan dari pembaca setia “Sinar Harapan” berupa makanan, pakaian dan uang bersafari dari Jakarta menuju Gunung Galunggung khususmya. Tim safari pertama “Sinar Group” terdiri dari para karyawan, wartawan, tim medis dan sukarelawan-sukarelawan mahasiswa ASMI. Sumbangan pertama terdiri dari 310 karton susu bubuk, 6 ton beras. Sebanyak 3.200 helai sarung, obat-obatan dan uang untuk pembuatan bedeng-bedeng pengungsi.

Acara resmi penyerahan bantuan dari pembaca “Sinar Harapan” secara simbolis dilangsungkan di kantor Pemda Kabupaten Tasikmalaya oleh H.G.Rorimpandey Kepada Bupati Tasikmalaya H.Hoedly Bambang Aruman Setelah itu, tim langsung menuju daerah-daerah musibah dan tempat tempat pengungsian. Secara langsung mereka membagikan sebanyak 7.740 kaleng susu bubuk, beras dan sarung. Sementara tim medis dan mahasiswa-mahasiswi ASMI melakukan kerja social membantu penduduk.

Dompet Galunggung yang dibuka Sinar Harapan pada 12 April mendapat perhatian sangat besar dari pembaca. Setiap hari,para penyumbang berdatangan ke kantor redaksi baik dari Jakarta maupun dari luar kota. Sampai hari penutupan, bantuan uang dari pembaca

yang terkumpul sebanyak Rp.139.807.212 di samping beras, pakaian bekas, obat-obatan, mie instant dan lainnya.

Gelombang demi gelombang sumbangan diantarkan sendiri oleh anggota-anggota “Sinar Group”. Gelombang kedua bantuan pembaca “Sinar Harapan” bergerak ke lokasi musibah dipimpin langsung oleh Pemimpin Redaksi Soebagyo Pr. Kemudian bedeng-bedeng hasil sumbangan pembaca Sinar Harapan segara dibangun, dengan kerangka besi dan tembok merupakan suatu kontruksi yang baik, cocok untuk daerah musibah dan memenuhi syarat kesehatan. Untuk mereka telah diselesaikan sebanyak 28 bedeng dan dua gedung serbaguna dengan seuah kendaraan lengkap dengan pengeras suara. Eddy Padmadisastra sebagai koresponden Sinar Harapan tentu saja sibuk membantu di samping melakukan laporan beritanya.

KUMAT KEMBALI

Senin 17 Mei Gunung Galunggung kembali kumat. Pada malam itu, Eddy Padmadisastra melaporkan, terdengar gelegar yang dahsyat dan api muncrat ke angkasa. Namun, letusan yang lebih dahsyat terjadi pada Selasa pagi hari sekitar pukul 05.20 WIB.

“Kalau malamnya, bola-bola api seperti ditembakkan ke angkasa, maka pada subuh terdengar suara gemuruh disertai semburan kerikil sebesar telur ayam dan hujan pasir. Kerikil-kerikil itu berjatuhan sampai ke desa-desa tempat penduduk mengungsi menyebabkan rumah-rumah rusak dan pengungsi luka-luka.”lapornya.

Informasi yang diperoleh, bahwa hujan batu dan pasir sampai ke kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar hingga Majelang (Jawa Tengah), juga kota Garut. Pada saat hujan batu itu banyak kaca-kaca pecah, bahkan kaca mobil yang tebal, juga tidak tahan menahan hantaman hujan batu dan kerikil hingga berlobang-lobang.

Semua kampung dekat Gunung Galunggung, terutama Pasir Ngempong terbakar habis akibat rembesan awan panas. Sampai pukul 10.30 WIB hari Senin itu, kota Tasikmalaya bagaikan malam hari akibat hujan debu yang dahsyat. Kendaraan bermotor melintas dengan menyalakan lampu . Kabut abu dari Gunung Galunggung terbawa sampai ke Cilacap (Jawa Tengah) yang berjarak sekitar 150 km dari Tasikmalaya.

Rentetan letusan Gunung Galunggung terus berlangsung, terutama Selasa (18 Mei) siang pukul 13.20 WIB terjadi letusan, dan malam harinya terjadi gempa disusul dengan letusan yang dhasyat. Tim Sinar Harapan yang terdiri dari Tjetje Hermawan, Eddy Padmadisastra dan Totok Soesilo menyaksikan sendiri kemurkaan Gunung Galunggung ketika berada di pos terdepan Cikasasah.Suasana bagaikan neraka yang bergerak. Karena semburan dan percikan api serta asap muncrat ke angkasa sekitar 1,5 km. Keesokan harinya, hujan abu bukan hanya menyebar di daerah sekitar gunung,melainkan menyebar luas sampai ke Yogyakarta dan kota lainnya di Jawa Tengah. Sejak saat itu terjadi serangkaian-serangkaian letusan lagi yang berlangsung terus menerus. Dalam kondisi demikian, penduduk yang menjadi korban bencana alam tersebut sudah tidak mengharapkan lagi untuk kembali ke desa-desa di lereng gunung. Karena menurut ramalan para ahli vulkanologi dan akhirnya menjadi kenyataan, bahwa Gunung Galunggung tidak akan berhenti meletus sampai beberapa bulan lamanya Letusan sporadis pun silih berganti. Dengan demikian, arus transmigrasiyang dikoordinir pemerintah berlangsung terus, diantaranya mereka menjalani hidup baru di Bengkulu, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. KERUGIAN BESAR Gunung Galunggung yang meletus dahsyat memang merupakan topik pembicaraan yang ramai dimana-mana, termasuk di luar negeri. Karena hampir setahun lamanya, gunung yang berada di sebelah barat Tasikmalaya itu meletus terus-menerus,selang-seling beberapa waktu.Ada yang berlangsung berkali-kali dalam waktu semalam. Ada kalanya diam selama seminggu,dua minggu, kemudian meletus lagi dan seterusnya. Gunung Galunggung pun menjadi kian populer dan bahkan memunculkan kesenian-kesenian.Operet dipimpin Titiek Puspa dalam TVRI di malam Lebaran menyuguhkan kisah meletusnya Gunung Galunggung berikut suasana pengungsinya di tempat pengungsian. Sejumlah pelukis mendapat ilham dari gunung yang murka ini. Juga tak mau ketinggalan para fotografer professional maupun amatir dapat mengabadikan foto-foto yang menarik. Bahkan dalam dunia klenik muncul berbagai kisah fantasi yang tak masuk akal. Eddy Padma di surat kabar “Sinar Harapan” memberitakan, bahwa musibah bencana alam meletusnya Gunung Galunggung telah menyebabkan kerugian yang sangat besar. Bukan saja korban jiwa berjatuhan, harta benda hilang, juga penyakit menyebar ke seluruh kawasan yang terkena bencana alam. Akibat masa paceklik yang ditimbulkan, maka diperkirakan sejumlah 189.781 jiwa tercatat rawan pangan. Berdasarkan catatan Budhi, salah seorang Satgas Penanggulangan Pengungsi Gunung Galunggung PMI, bahwa untuk menanggulangi penduduk rawan pangan dibutuhkan tak kurang dari Rp.300 juta setiap bulan. Jumlah kerugian akibat bencana alam Gunung Galunggung meletus yang tercatat sampai 3 Agustus 1982 itu diperkirakan mencapai Rp.29,591 miliar. Ini meliputi kerugian di bidang ekonomi, bangunan dan pendapatan daerah. Bupati Tasikmalaya yang saat itu dijabat H.Hoedly Bambang Aruman kepada Eddy Padmadisastra menjelaskan, ia mencatat letusan besar sejak 5 April sampai awal September 1982, yakni sebanyak 26 kali letusan besar. Ini belum termasuk letusan-letusan sekunder yang menyebabkan malapetaka.Penduduk yang berada di kawasan kaki Gunung Galunggung yang ditransmigrasikan sampai awal September 1982, menurut Bupati Tasik, tercatat sebanyak 1.277 KK yang terdiri dari 4.967 jiwa. Karena peristiwa meletusnya Gunung Galunggung menghebohkan dunia saat itu, maka “Sinar Harapan” sempat menurunkan dan menugaskan sejumlah wartawannya untuk membantu tugas peliputan yang dilakukan Eddy Padmadisastra antara lain: Totok Soesilo, H.A.Risnanto, Indra Rondonuwu, Bachtiar Sitanggang, Laurens Samsuri, Sarwoto, RA Soenartono, Rheinhard Simanjuntak, John Rumokoy, Jennifer Marinka, Enderson Tampubolon, Vera Indrasuwito, Bambang Setyo dan seorang koresponden dari Pematang Siantar Sumatera Utara di samping koresponden Tjetje Hermawan. “ Pada peristiwa meletusnya Gunung Galunggung itulah, jajaran Redaksi Sinar Harapan ikut membantu tugas peliputan berita yang saya lakukan dalamkurun waktu yang cukup lama,” papar Eddy Padma.**