Minggu, 21 Maret 2010

Cover Depan Buku"SANG JURNALIS SEJATI"

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

PUJI syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Shalawat serta rahmat dan keselamatan dikhususkan kepada junjunan alam habibana wa nabiyana Muhammad SAW, juga kepada keluarganya, dan sahabatnya.

Karena berkat karunia-Nya, alhamdulillah penulis dapat menyusun buku “PERJALANAN HIDUP SANG JURNALIS H.Eddy Padmadisastra yang sarat pengalaman selama menekuni profesi ‘mulia’ sebagai wartawan.

H.Eddy Padmadisastra adalah seorang wartawan senior. Ia lebih suka menyebutnya sebagai koresponden. Karena ia sudah banyak makan asam garam di dunia jurnalistik. Tak mengherankan bila wartawan surat kabar Harian Suara Pembaruan ini cukup terkenal, terutama di Priangan Timur yang menjadi wilayah tugasnya, meski ia tinggal di Tasikmalaya.

Sebagai senior, H.Eddy Padmadisastra mengawali kariernya di dunia jurnalistik sejak 4 Juli 1972 (bertepatan dengan hari jadi pernikahannya) di Sinar Harapan (kemudian berganti nama menjadi Suara Pembaruan) hingga menjadi Ketua PWI Persiapan Priangan Timur selama dua periode. Dalam buku ini, Pak Haji panggilan akrabnya, secara gamblang memaparkan ‘pengalaman’ perjalanan hidupnya sebagai wartawan mulai dari A sampai Z, bahkan hingga ia melanglang buana; dari satu negera ke negara lainnya.

Profesi wartawan rupanya sudah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan suami tercinta Hj.E.Komariah,Dra.pensiunan guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Tasikmalaya.Betapa tidak! Meski kini usianya menginjak 70 tahun, H.Eddy Padmadisastra masih tetap aktif mencari bahan berita dan menulis berita untuk dipublikasikan di medianya. Tak kenal lelah menjalani hidup sebagai wartawan. Inilah yang patut diteladani oleh rekan-rekan wartawan yunior.

Penyusun:

REDI MULYADI

DAFTAR ISI



1.KATA PENGANTAR………………………… i
2.DAFTAR..................................................... ii
3.ISI................................................................ iii
3.Profesi Wartawan Tak Kenal Istilah pensiun .... 3
4.Lupa Keluarga Saat Peristiwa Dahana ............... 8
5.Saya Disangka Bupati Tasik ............................... 12
6.Suka Duka Sebagai Istri Wartawan .................. 16
7.Perjalanan Jurnalistik ke Belanda Bersama Bupati Tasik.......20
8.Terharu bisa Membantu Penyembuhan Penderita Kanker Payudara .......... 25
9.Rekaman Peristiwa Gunung Galunggung Meletus ................. 27
10.Berita Pelepasan Burung Perkutut.......................................... 48
11.Berita Bencana Alam Jadi Pusat Perhatian ............................ 51
12.Pernikahan Emas .......................................................................56
13.Kalau Menulis Berita Jangan dari Satu Sumber.................... 60
14.Lima Kiat Menjalin Hubungan Wartawan & Humas............. 65
15.Kegiatan Keagamaan................................................................. 71
16.Dua Tokoh Pemimpin Redaksi................................................. 74
17.Riwayat Hidup Penulis ............................................................84

*****

Sabtu, 20 Maret 2010

PROFESI WARTAWAN TAK KENAL ISTILAH PENSIUN



BERDASARKAN Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa wartawan adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Wartawan juga disebut juru warta atau jurnalis. Ada pula yang lebih spesifik, disebut wartawan foto untuk khusus yang mencari berita dalam bentuk/medium foto. Wartawan cetak yakni wartawan pencari berita untuk media cetak. Wartawan lepas, yang tidak menjadi staf tetap salah satu surat kabar, tetapi hanya menyumbangkan tulisan mewakili beberapa penerbitan pers.

Jadi intinya, wartawan terkait dengan berita. Lantas apa sih berita itu? Secara singkat kita bisa definisikan berita merupakan laporan atas sebuah

fakta (peristiwa nyata). Jadi wartawan adalah pelapor fakta melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, baik media konvensional maupun media online.Nama lain wartawan adalah koresponden, reporter, juru warta, kuli tinta atau kuli disket.

Lantas muncul pertanyaan, berapa batas usia yang layak bagi profesi wartawan? Apakah cukup dengan 50, 55, 60 bahkan hingga 70 tahun? Berapa usia wartawan senior B.M.Diah tatkala melepaskan seluruh tugas kewartawanannya yang diserahkan kepada generasi yang lebih muda di surat kabar Harian Merdeka ?

Adalah wajar bila H.Eddy Padmadisastra, wartawan senior di Priangan Timur, mengaku kaget ketika ia menerima surat pemberhentian (pensiun sebagai wartawan) dengan hak pesangon dari Pemimpin Redaksi H.U. Suara Pembaruan, suratkabar tempat ia bekerja selama 22 tahun. Padahal. ia ingat betul akan ucapan para seniornya, bahwa “Tidak pernah ada kata pension untuk seorang wartawan. Tak ada batasan masa kerja dan usia bagi profesi wartawan, ”kata Djafar H.Assegaff.

“Betapa tersentak dan bingung, ketika saya menerima surat pemberhentian secara terhormat dengan hak pesangon dari pemimpin redaksi suratkabar tempat saya bekerja selama 22 tahun. Sebab, saya tidak menduga kalau umur 60 tahun sudah dianggap tidak mampu menjadi wartawan. Padahal, saya merasa jadi wartawan itu baru kemarin,”ungkap H.Eddy Padmadisastra, mantan Ketua PWI Persiapan Priangan Timur selama dua periode ini.

Pak Haji panggilan akrabnya mengaku, yang dibingungkan bukan hilangnya sumber pendapatan utama (Suara Pembaruan memberikan honor bulanan, ongkos kirim berita dan tunjangan kesehatan yang cukup besar, disamping honor pemuatan berita) karena dia juga punya usaha perdagangan buku, pertanian dan perbengkelan. Lantas, kenapa ia bingung saat menerima surat

pemberhentian secara terhormat tersebut? Karena ia sangat mencintai pekerjaannya sebagai ‘kuli tinta’ wartawan. Bahkan sudah mendarah daging dalam hidup dan kehidupannya.

Pada mulanya, H.Eddy Padmadisastra mengaku tidak bisa menerima kenyataan harus memutuskan hubungan kerja dengan suratkabar harian yang selama 22 tahun dibantunya. Namun, setelah memperoleh penjelasan dari pemimpin redaksinya, bahwa yang berubah hanya statusnya saja, tetapi ia masih bisa terus ‘berkarya’ menulis berita sebagai pembantu. Akhirnya, ia baru merasa tenang dan lega!

Karena itu, H.Eddy Padmadisastra di usianya yang sudah senja, ternyata masih aktif mencari bahan berita untuk dipublikasikan di suratkabar Harian Umum Suara Pembaruan yang telah membesarkan dirinya.

Bagi wartawan professional yang sudah lama malang-melintang di dunia kewartawanan, menurut ayah tiga anak ini, tidak ada istilah pensiun. Selama masih menulis, mengapa harus ‘diam’ berhenti menulis berita. Dia memberi contoh faktual, yakni bagaimana para wartawan senior seperti H.Rosihan Anwar, H.Mahbub Djunaidi, Mochtar Lubis atau H. Bachtiar Djamily hingga akhir hayatnya, yang begitu mencintai profesinya masih tetap menulis meskipun koran-koran mereka sudah tidak terbit lagi.

LUWES DAN GAUL

Surat keterangan dari Redaksi Suara Pembaruan ketika melakukan perjalanan jurnalistik ke Malaysia dan Singapura 4-7 Oktober 1994,

serta menghadiri Konferensi Asia Pacifik IV Internasional Farm

Youth Ecchange Assosiation di Yamagatha Ken Tokio Jepang pada tanggal 16-21 Oktober 1994.


Pria berperawakan jangkung dengan rambut dan kumis memutih itu mengaku banyak belajar tentang manusia dari profesinya sebagai ‘jurnalis’ wartawan. Untuk menimba informasi yang bermanfaat bagi kepentingan umum, lanjut Pak Haji, maka seorang wartawan harus luwes dan luas bergaul dengan siapa saja mulai dari rakyat jelata hingga pejabat. Selain itu, jangan suka menyakiti hati orang dengan sengaja, apalagi mencari-cari kejelekan pribadinya. Kemudian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi sang wartawan itu sendiri, terutama materi.

Dengan prinsip kerja seperti itu, yang merupakan pencerminan keimanan dan sikap taqwanya kepada Allah SWT sebagai muslim, H.Eddy Padmadisastra merasa tidak mendapat kendala apapun dalam menulis ‘berita’ apa yang seharusnya ditulis. Bahkan, dalam upaya mempertebal keimanannya ia pun seringkali riadhoh atau pengajian ke Pondok Pesantren Suryalaya pimpinan Abah Anom di Pagerageung.

Karena berita-beritanya dinilai selalu objektif, maka tak mengherankan bila H.Eddy Padmadisastra banyak mendapat undangan dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta.

Bahkan, ia pun pernah beberapa kali mendapat undangan untuk melakukan perjalanan jurnalistik ke luar negeri. Pada tahun 1990 lalu misalnya, Pak Haji yang ternyata adalah anggota Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia ini, sempat melawat ke beberapa Negara Eropa Barat (Belanda) bersama rombongan Bupati Tasikmalaya, yang saat itu dijabat oleh H.Adang Roosman,SH.

Selama perjalanan jurnalistiknya bersama rombongan Bupati H.Adang Roosman SH tersebut, tentu saja banyak pengalaman yang berharga, dan bahkan banyak bahan berita yang ditulis untuk suratkabarnya. Dalam hal ini ia menulis berita, bagaimana pengaturan para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di pusat keramaian kota di Belanda yang tertib dan tertata dengan baik, sehingga bisa dicontoh di Tasikmalaya.

Demikian pula, bulan Oktober 1994 lalu, ia pun melakukan perjalanan jurnalistik ke beberapa negara Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan dan Jepang atas undangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Kanwil Departemen Pertanian Jawa Barat.

Ketika ditanya mengenai kepribadian wartawan masa kini, H.Eddy Padmadisastra mengaku prihatin, terutama mendengar ada oknum wartawan yang terlibat tindak kriminalitas; pemerasan, premanisme, pencaloan CPNS dan lainnya.

“Jujur saja, saya sangat prihatin dengan perilaku ‘oknum’ wartawan yang bertindak di luar profesinya sebagai insan pers, tidak menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Bahkan, para wartawan sekarang kurang memperhatikan tatakrama atau sopan santun (etika sesuai KEJ) dalam pergaulan dengan para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya.”kata H.Eddy.

Walau diakuinya, para wartawan sekarang cukup pandai dalam mencari bahan berita dan menulis berita. Ada yang mengira, bahwa jadi wartawan itu sudah berarti segala-segalanya. Padahal, penghargaan masyarakat terhadap suatu profesi sangat tergantung pada amal perbuatan pribadi yang menyandangnya.

PRINSIP HIDUP

H.Eddy Padma menceritakan awal kariernya sebagai wartawan. Sebagai senior, ia mengawali kariernya di dunia jurnalistik sejak 4 Juli 1972 di Sinar Harapan (kemudian berganti nama menjadi Suara Pembaruan). Sebenarnya, secara kebetulan ia berkenalan dengan dunia kewartawanan, ketika ia masih menjadi PNS di Jawatan Sosial (Depsos). Ia mengaku sama sekali tidak pernah bercita-cita untuk menjadi wartawan. Namun, begitu ia ‘masuk’ dan diangkat sejak 4 Juli 1972 sebagai wartawan tetap Sinar Harapan dan berganti menjadi Suara Pembaruan, ia tidak pernah beranjak dari sana.

H.Eddy Padma, menurut beberapa rekan wartawan Tasikmalaya lainnya, merupakan figur yang sangat dihargai oleh pemerintah daerah di wilayah Priangan Timur terutama Tasikmalaya, karena jasa-jasanya dalam membantu pengumpulan dana bagi pengungsi korban meletus Gunung Galunggung 5 April 1982 dan bencana longsor di Bojonggambir.

Bahkan yang paling berkesan bagi H.Eddy Padma, yakni ketika menulis berita mengenai penderita tumor ganas bernama Masitoh (18) warga

Desa Neglasari Kec.Salawu Kab.Tasikmalaya. Gadis desa ini menderita penyakit tumor ganas pada bagian payudaranya membesar sampai melebihi badannya. Setelah pemberitaan itu, maka mengalirlah sumbangan dari para donatur melalui Koran Sinar Harapan, mulai dari masyarakat biasa sampai pejabat pusat dan bahkan Bu Tien Soeharto, sehingga Masitoh pun bisa dioperasi di RS Husada Jakarta dan penyakitnya sembuh.

Dengan kesembuhannya tersebut, maka Kepala Desa Neglasari maupun Bupati Tasikmalaya H.Hoedly Bambang Aruman menyatakan terima kasih kepada H.Eddy Padma, terutama kepada Sinar Harapan yang telah memberitakan penderita tumor payudara dan sekaligus banyak yang menggugah para dermawan membantu dalam pengobatan gadis malang itu.

Pria ramah ini lahir di Kawali Kab.Ciamis dan menikahi E.Komariah,Dra,Hj guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Tasikmalaya pada tahun 1959, kemudian dikaruniai 3 anak yakni Rita Sabarniati,SH,M.Si dan Sri Widyawati,SH,S.IP serta Bambang Kusnohadi, S.IP.

E. Komariah sangat mendukung terhadap H. Eddy Padma dalam menjalani profesinya sebagai jurnalis. Karena itu, sang istri tercinta selalu mendampingi dalam keadaan suka maupun duka, juga memahami profesi wartawan yang berbeda dengan profesi lain; yakni kerja yang tak mengenal batas waktu.

Selama ini, pria energik ini selalu konsisten pada prinsip hidupnya; bekerja selalu tekun, serius dan jujur sebagai tugas hidup karena Allah. Dia mengaku, bahwa profesi wartawan sebagai social control merupakan suatu tugas yang mulia.(BUDIN/REDI.)***

Lupa Keluarga Saat Peristiwa Dahana




DALAM dalam menjalani profesi sebagai wartawan terutama di era orde baru, menurut H.Eddy Padmadisastra, ternyata banyak suka dan dukanya. Bahkan sering lupa keluarga, maksudnya meninggalkan keluarga di rumah, demi tuntutan tugas dalam peliputan berita. Karena wartawan itu harus cekatan dalam menjalankan tugas setelah menerima informasi kejadian dan juga tidak mengenal batas waktu kerja. Kadangkala, wartawan harus meliput berita atau melakukan investigasi ke suatu daerah terpencil yang membutuhkan waktu lama, hingga kadang harus bermalam.
Hal ini dialami wartawan senior Eddy Padma yang ditugaskan surat kabar Harian Sinar Harapan di Tasikmalaya. Pada awal bulan Maret 1976 misalnya, ada peristiwa yang menghebohkan warga pada senja hari, yakni ledakan dahsyat terdengar di bagian timur pusat kota Tasikmalaya dan tidak jauh dari rumahnya di Jl.Ahmad Yani Gg.Sinar Harapan Pancasila.
Pada saat itu, koresponden “Sinar Harapan” Eddy Padma tengah bersantai dengan keluarganya di rumah, tiba-tiba mendengar ledakan dahsyat dan ia segera keluar rumah. Bahkan ledakan itu menimbulkan getaran keras dan menggoncangkan bumi. Sebelah timur rumahnya itu terlihat pucuk api yang menjulang tinggi. Apalagi mendengar jeritan manusia yang menyayat hati. Apa gerangan yang terjadi di sana?
Naluri sebagai wartawan pun bekerja. Ia segera keluar rumah untuk mencari informasi; “Pabrik Roket dan Bahan Peledak Dahana Tasikmalaya Meledak”. Itulah informasi yang pertama diperolehnya. Ini berita besar, pikirnya.
Tanpa pikir panjang lagi, Eddy Padma pun segera meluncur ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Jl.Cibeureum, dimana pabrik roket dan bahan peledak Dahana itu berada. Dalam keadaan gelap gulita, karena aliran listrik tiba-tiba padam, maka dengan cekatan ia menerobos di antara massa yang berbondong-bondong di sepanjang jalan menuju lokasi ledakan dahsyat itu.
Pada saat itu, ia tidak bisa membedakan mana penduduk yang mengungsi untuk menghindari bahaya ledakan, dan mana penduduk yang justru sengaja ingin melihat musibah tersebut.Kemudian informasi segera dihimpun dari sana-sini dan data dikumpulkan.
Namun beberapa saat kemudian, kesadaran Eddy Padmadisastra muncul, karena di rumah ada keluarga. Pada saat itu, ia benar-benar lupa kepada keluarganya sendiri, meninggalkan keluarga dalam keadaan masyarakat yang ‘tagiwur’ panik. Walau bagaimana pun, ia panik juga karena lupa telah meninggalkan keluarga di rumah. Bagaimana nasib keluarga dan kemana mereka pergi? Mengapa ia harus meninggalkan keluarga? Namun, tugas adalah tugas! Eddy memutuskan, untuk tetap meluncur ke lokasi musibah dan mencatat segala sesuatunya secara lengkap untuk bahan berita.
Setelah merasa cukup memperoleh informasi untuk bahan berita, ia bergegas kembali ke rumah untuk menemui keluarga yang ditinggalkannya.”Alhamdulillah. Dengan perasaan lega, ternyata seluruh keluarga saya dalam keadaan sehat dan selamat,”kenangnya.
Bahan berita dan data yang diperoleh itu segera diolah menjadi berita yang dikemas sedemikian rupa. Kemudian mengangkat telepon; “Hallo…Redaksi Sinar Harapan,pabrik roket dan bahan peledak Dahana Tasikmalaya meledak. Korban jiwa tercatat sekian orang. Pengungsi berbondong-bondong ke lokasi yang dinilai aman…..” dan masih banyak yang dilaporkannya. Sambil menghelas nafas panjang, Eddy Padma pun mengakhiri laporannya via telepon. (Dicuplik dan diolah dari buku “AWAL PERJUANGAN (Dalam Fakta & Peristiwa) yang diterbitkan Sinar Harapan)***

Saya Disangka Bupati Tasik


SELAMA menjalani profesi kewartawanan, ternyata banyak pengalaman yang ‘unik’ berkesan dialami oleh H.Eddy Padmadisastra, karena ulah rekan-rekannya yang suka ‘heureuy’ bercanda. Tak terkecuali pada saat menjalankan tugas peliputan berita. Ini mungkin intermezo (hiburan segar) disela-sela menjalankan tugas bersama. Pengalaman berkesan itu tak mungkin terlupakan dalam catatan hidupnya.

Pada tahun 1981-an, menurut Eddy Padma, bahwa di antara 278 desa yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya ternyata masih banyak yang termasuk kategori ‘desa terisolir’ terpencil. Betapa tidak! Karena lokasinya memang jauh dari pusat keramaian ibukota Kabupaten Tasikmalaya dengan kondisi jalan yang belum tersentuh aspal seperti sekarang. Karena itu tak mengherankan, pejabat dari Pemda kabupaten dan bahkan pejabat di tingkat kecamatan, jarang ada yang mau berkunjung. Bahkan tak mengherankan pula, jika penduduk di desa-desa terpencil itu tidak kenal siapa Bupati Tasikmalaya, juga camat setempat.

Singkat cerita, wartawan yang bertugas meliput berita di Kabupaten Tasikmalaya khususnya anggota PWI menggelar acara Karya Wisata Wartawan ke desa-desa terpencil yang berada di wilayah Kecamatan Cigalontang paling ujung barat. Beberapa desa di kecamatan ini, letaknya lebih mudah ditempuh melalui Kabupaten Garut daripada dari Kecamatan Cigalontang.

Karena itu, rekan-rekan wartawan melakukan peninjauan ke desa-desa terpencil di Kecamatan Cigalontang melalui jalan setepat dari Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut. Rombongan wartawan harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki melalui jalan yang terjal dan mendaki bebukitan. Betapa melelahkan.

Adapun digelarnya kegiatan Karya Wisata Wartawan Tasikmalaya ke desa-desa terpencil itu tiada lain dalam rangka usaha Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melancarkan program “Koran Masuk Desa dan Desa Masuk Koran”. Artinya, penduduk pedesaan bisa memperoleh segala informasi melalui Koran yang masuk ke desa, dan kehidupan masyarakat desa itu sendiri akan termuat di koran setelah wartawannya melakukan peliputan melalui karya wisata wartawan.

Sejak dari Kecamatan Wanaraja, rombongan Karya Wisata Wartawan Tasikmalaya harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, bergerak melalui jalan setapak. Karena berjalanan kaki yang teramat jauh dan tersengat sinar matahari, tentu saja seluruh wartawan bermandi keringat dan mereka tampak kelelahan sekali. Ada banyak rekan wartawan yang tertinggal jauh dan beberapa kali harus beristirahat untuk melepaskan rasa lelah.

Pada perjalanan karya wisata tersebut, Eddy Padma berjalan paling depan, karena ia memang sudah terbiasa melakukan olahraga terutama jogging. Jadi, ketika harus melakukan perjalanan jauh seperti itu, ia tidak terlalu merasa kelelahan. Itulah pentingnya berolahraga.

Setelah melakukan perjalanan yang teramat jauh, akhirnya rombongan wartawan PWI Tasikmalaya tiba juga di sebuah desa terpencil, dimana kehidupan penduduknya benar-benar masih jauh tertinggal dan sikapnya polos.

Nah, tiba-tiba ada seorang wanita setengah umur lari tergopoh-gopoh dari belakang Eddy Padma sambil berteriak; “Pa Bupati….antosan!” (Pak Bupati…tunggu!)

Eddy awalnya teu malire pada teriakan wanita itu. Karena yang dipanggilnya juga Bupati Tasik, bukan dirinya. Namun ia kaget, karena wanita itu justru duduk bersimpuh di hadapan wartawan Sinar Harapan sambil berkata memelas, “Aduh…abdi teh nembe ayeuna tepang sareng Bapa


Bupati.”katanya (Aduh…saya baru sekarang bertemu dengan Bapak Bupati).

Tanpa pikir panjang lagi, Eddy Padma segera mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan wanita ‘lugu’. Sementara dalam hatinya berkata, hmm…kasihan sekali masih ada penduduk desa yang belum tahu wajah bupatinya sendiri. (Apa mungkin penduduk desa sekarang ada yang tidak tahu wajah bupati atau walikotanya sendiri…?)

Kejadian itu menimbulkan gelak tawa rekan-rekan wartawan yang menyaksikannya. Karena penasaran, selidik punya selidik, ternyata ada seorang rekan wartawan yang usil bin iseng, yakni membisikkan kepada wanita itu bahwa Eddy Padma adalah Bupati Tasikmalaya sambil menunjukkan kepadanya yang berjalan paling depan.

“Tapi, saya senang juga dihormati seperti seorang pembesar, Bupati Tasikmalaya….”kenang Eddy Padma.

Suka Duka Sebagai Istri Wartawan



E.KOMARIAH adalah istri tercinta H.Eddy Padmadisastra yang dipersunting pada tahun 4 Juli 1959. Pasangan suami istri yang selalu harmonis hingga tua ini dikarunia dua putri (Rita Sabarniati,SH,M.Si dan Sri Widyawati,SH,S.IP) dan seorang putra (Bambang Kusnohadi, S.IP).
Selama mendampingi sang suami, H.Eddy Padma seorang wartawan di sebuah surat kabar besar terbitan Jakarta (Suara Pembaruan yang sebelumnya bernama Sinar Harapan), pensiunan guru SMAN 1 Tasikmalaya ini mengaku banyak kisah suka dan dukanya.
“Tapi lebih banyak sukanya.Dalam hal ini, misalnya saya sering mendampingi Pak Haji saat mengikuti liputan ke objek-objek wisata dan bahkan lawatan ke luar negeri seperti ke Malaysia nonton pertandingan bulutangkis saat itu Liem Shie King yang juara, sehingga saya bisa liburan dan banyak menambah pengalaman, ”ungkapnya.
Tugas jusnalistik ke luar negeri seperti Hongkong dan Belanda, baik ditugaskan kantor maupun mendapat undangan dari pemerintah, dipastikan E.Komariah ikut serta. Bahkan, ia sebagai guide bagi sang suami maupun rombongan. Maklum saja, ia seorang guru Bahasa Inggris di SMAN 1 Tasikmalaya, tentunya fasih dalam berbahasa asing terutama Inggris. Dengan demikian, rombongan pada lawatan jurnalistik ke mancanagara terasa tenang, karena istri Eddy Padma bisa membantu dalam hal komunikasi dengan orang asing.
Kalau dukanya, bukan karena masalah materi, karena selain ia bekerja sebagai PNS dan juga penghasilan sebagai wartawan surat kabar besar sangat memadai. Namun yang menjadi persoalan, karena ia bersama putra-putrinya seringkali ditinggalkan tugas untuk peliputan berita terutama ke luar kota dalam waktu beberapa hari seperti ketika ditugaskan ke Maros Ujungpandang selama 14 hari mengikuti “Pekan Nasional VII Pertanian dan Keluarga Berencara” pada 3 Juli 1988. Walaupun kebutuhan hidup keluarganya dijamin oleh kantor, menurut E.Komariah, keluarganya tetap saja merasa kehilangan ‘sang bapak’ selama dua minggu.
“Saya sih bisa memakluminya, karena pekerjaan wartawan itu tidak mengenal batas waktu. Tidak ada waktu siang maupun malam,”tuturnya.
Begitu pun sehar-harinya, meski bertugas di Tasikmalaya, keluarganya sering ditinggal Eddy Padmadisastra saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Bahkan seringkali, suaminya pulang malam hingga dini hari. Tapi itulah tugas seorang wartawan yang benar-benar wartawan.
Dalam mendampingi suaminya, Hj.E.Komariah bukan sekedar mendampingi, justru ia banyak membantu. Betapa tidak! Sebelum tulisan beritanya dikirim ke redaksi, H.Eddy Padma selalu minta bantuan
Hj.E.Komariah, untuk ‘ngedit’ mengoreksi berita; baik itu gaya penulisan, susunan kalimat dan tanda baca hingga judul berita agar menarik dan enak dibaca.
“Sebab, pengiriman berita ke Sinar Harapan atau Suara Pembaruan itu sangat ketat. Selektif.”tutur Bu Haji.
Karena itu tak mengherankan, jika berita yang dibuat H.Eddy Padma sebelum dikirim ke redaksi, tentu saja harus dikoreksi oleh sang istri dan harus beberapa kali diulang untuk diperbaiki. Pria ini selalu menghargai pendapat, koreksi dan peran sang istri dalam menunjang kariernya.
“Pak Haji itu tak pernah marah bila beritanya dikoreksi dan dikritik. Justru sangat menghargai. Begitu pun bila dikoreksi atau dikritik oleh orang lain.”kata wanita kelahiran Tasikmalaya ini.
Ada pengalaman yang mungkin tak terlupakan oleh E.Komariah bersama putra-putrinya, yaitu ketika peristiwa pabrik roket dan bahan peledak Dahana di Cibeureum meledak pada bulan Maret 1976 yang menghebohkan warga Tasikmalaya. Pada saat kejadian itu, kalau para tetangganya bisa berkumpul bersama keluarga, tapi ia dan anak-anaknya yang masih kecil justru ditinggalkan Eddy Padma untuk meliput berita ke lokasi kejadian.
“Pada saat itu, saya dan anak-anak sempat panik, karena melihat tetangga yang mau pada ngungsi untuk menyelamatkan diri dan keluarga. Sementara saya dan anak-anak, justru ditinggalkan Pak Haji yang mendekati lokasi kejadian. Bahkan saya sangat khawatir, Pak Haji yang menuju lokasi kejadian mengalami hal-hal yang tidak diharapkan.”ungkapnya.
Namun itulah tugas wartawan, menurut E.Komariah, kalau orang lain menjauhi lokasi musibah untuk menyelamatkan diri. Sebaliknya dengan wartawan, justru mendekati lokasi musibah untuk mendapatkan bahan barita (informasi dan foto) yang akurat untuk dipublikasikan.